Total Tayangan Halaman

Minggu, 02 Juni 2013

NEGARA HUKUM


Cita negara hukum untuk pertama kali dikemukakan oleh Plato, (Athena 429 SM) sedikitnya ada tiga karya yang sangat relevan dengan masalah kenegaraan yaitu : Politeia (the republica) adalah buku pertama yang ditulis dengan melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh orang yang haus akan harta, kekuasaan dan gila hormat; Politicos (the statemen) buku kedua ini beranggapan perlu adanya hukum untuk mengatur warga Negara saja dan tidak harus berlaku bagi penguasa karena penguasa memiliki pengetahuan tentang hal itu dan dapat membuat hukum; Nomoi (the law) buku ketiga ini Plato memberikan perhatian dan arti yang lebih tinggi pada hukum, penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Ide tersebut dilanjutkan oleh Aristoteles dengan karyanya Politica, disamping membahas masalah kenegaraan juga meneliti dan memperbandingkan konstitusi dari negara-negara Yunani. Menurut Azhary bahwa Aristoteles dapat dianggap sebagai peletak batu pertama Ilmu Perbandingan Hukum Tata Negara mengatakan bahwa suatu negara yang baik ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Konsep tentang hukum sebagai cermin tata keadilan telah dikembangkan oleh para pemikir Yunani terutama Plato dan Aristoteles. Dalam pandangannya Plato menyatakan bahwa keadilan akan terwujud jika Negara ditata sesuai dengan bentuk ideal sebagaimana ditetapkan oleh raja yang sekaligus filosuf dan dihubungkan dengan hukum yang berlaku dalam sebuah “polis”. Hukum adalah refleksi pengetahuan manusia pada umumnya yang dikembangkan secara sempurna. Bagi Plato, hukum identik dengan jalan pikiran yang nalar yang diwujudkan dalam dekrit yang dikeluarkan oleh negara. Hukum memiliki kualitas tidak tertulis dan alamiah sebagaimana terdapat di dalam kodrat manusia. Hukum juga dipandang identik dengan moralitas dan tujuan hukum adalah menghasilkan manusia yang benar-benar baik. Menurut Plato, hukum diberlakukan dengan maksud untuk membantu manusia menciptakan kesatuan dalam hidup komunitas atau ketertiban sosial,
atau kebaikan umum.
Seperti Plato, gagasan Aristoteles tentang hukum tidak tersusun secara sistematis, melainkan tersebar di berbagai tulisannya. Aristoteles membedakan antara konsep tentang hukum dari konsep tentang konstitusi. Hukum berhubungan dengan organisasi antar lembaga dalam sebuah Negara, sedangkan konstitusi berhubungan dengan hal-hal yang harus dikerjakan oleh masing-masing lembaga dalam menyelenggarakan Negara.
Berdasarkan terjadinya, terdapat dua jenis hukum yaitu hukum kodrat dan hukum yang didasarkan atas perjanjian antar manusia. Menurut Aristoteles, kedua jenis hukum ini tidak ada bedanya sebab menurut hukum kodratnya, manusia adalah makhluk yang harus hidup dalam persekutuan dangan sesamanya (makhluk polis). Di dalam dirinya ada dorongan yang berasal dari kodratnya sendiri yang menjadi alasan mengapa manusia menginginkan hidup bermasyarakat dan sekaligus ada dorongan lain yang disebabkan oleh kepentingan yang berlaku umum yang mendorong individu untuk berpartisipasi dengan sesamanya dalam menciptakan kehidupan yang baik. Hidup yang baik merupakan cita-cita tertinggi yang hendak dicapai, baik oleh masyarakat secara keseluruhan maupun oleh setiap individu. Demi citacita ini, secara bersama-sama manusia kemudian membentuk dan
menyelenggarakan sebuah persekutuan politis atau sebuah Negara.
Cita Negara hukum ini lama dilupakan orang, baru pada awal abad XVII timbul kembali di Barat yang merupakan janin konsep Negara hukum yang mulai dikenal pada abad XIX. John Locke dalam Two Treatises on Civil Government menyatakan bahwa: Manusia sejak dilahirkan telah memiliki kebebasan dan hak asasi, dan hak asasi manusia itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun terkecuali atas persetujuan pemiliknya, namun keadaan alami, hak-hak asasi dan kebebasannya belum terjamin penuh agar supaya hak-hak asasi dan kebebasan yang satu jangan melanggar hak-hak asasi dan kebebasan yang lainnya, maka mereka sepakat untuk mengakhiri keadaan alami dengan membentuk Body Politic atau Negara, yang tujuan negara adalah menjaga dan menjamin terlaksananya kebebasan dan hak asasi manusia.
Demikian perjanjian masyarakat itu sama artinya dengan hukum, dan kekuasaan negara terdiri atas kekuasaan pembentuk undang-undang, kekuasaan pelaksanaan undang-undang, kekuasaan federatif, yang buah pikirannya dipopulerkan oleh Montesquieu.
Montesquieu mengatakan bahwa fungsi Negara hukum harus dipisahkan dalam 3 (tiga) kekuasaan lembaga Negara dikenal dengan nama Trias Politika, yaitu :
1.    Kekuasaan legislatif, yang membentuk undang-undang.
2.    Kekuasaan Yudikatif, yang menjatuhkan hukuman atas kejahatan dan yang memberikan putusan apabila terjadi perselisihan antara para warga.
3.    Kekuasaan Eksekutif, yang melaksanakan undang-undang, memaklumkan perang, mengadakan perdamaian dengan Negara-negara lain, menjaga tata tertib, menindas pemberontakan dan lain-lain.
Konsep negara hukum lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme dan memberikan pengakuan serta perlindungan hak asasi
manusia, baik konsep continental yang disebut civil law, modern Roman Law, dengan latar belakang perjuangan yang bersifat revolusioner maupun rule of law yang bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law dengan latar belakang berkembang secara evolusioner. Artinya pemikiran Negara hukum timbul sebagai reaksi atas konsep Negara polisi (polizei staat).
Mengikuti Hans Nawiasky, polizei terdiri atas dua hal, yaitu Sicherheit dan Verwaltungpolizei yang berfungsi sebagai penyelenggara perekonomian atau penyelenggara semua kebutuhan hidup warga Negara. Oleh karena itu arti polizei staat adalah Negara yang menyelenggarakan ketertiban dan keamanan serta menyelenggarakan semua kebutuhan hidup warga negaranya.
Kedua konsep ini, baik rechtsstaat maupun rule of law yang merupakan produk abad XIX dan dipengaruhi oleh paham yang menitikberatkan pada individualisme telah menjadikan pemerintah sebagai nachwakersstaat (penjaga malam) yang lingkup tugasnya sangat sempit, terbatas pada tugas melaksanakan keputusan-keputusan parlemen yang dituangkan di dalam undang-undang. Dengan kata lain, pemerintah dituntut untuk pasif dalam arti hanya menjadi wasit atau pelaksana berbagai keinginan rakyat yang dituangkan di dalam undang-undang oleh parlemen.
Konsep Negara hukum rule of law di abad XIX, Albert Venn Dicey
dengan karyanya yang berjudul Introduction to Study of The Law of The Constitution tahun 1985 mengemukakan 3 (tiga) unsur utama rule of law yakni, supremacy of law, equality before the law, constitution based on individual rights.
Sedangkan konsep Negara hukum rechtsstaat yang ditulis oleh Immanuel Kant dalam karyanya yang berjudul Methaphysiche Ansfangsgrunde Der Rechtslehre yang dikenal dengan nama negara hukum liberal (nachwachter staat) yakni pembebasan penyelenggaraan perekonomian atau kemakmuran diserahkan pada rakyat dan negara tidak campur tangan dalam hal tersebut.
Konsep tersebut kemudian diperbaiki oleh Frederich Julius Stahl yang dinamakan negara hukum formal yang unsur utamanya adalah mengakui hak asasi manusia. Melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan Negara harus berdasarkan teori trias politika, dalam menjalankan tugasnya pemerintah berdasarkan atas undang-undang dan apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikan.
Memasuki abad ke XX perkembangan konsep Negara hukum rule of law mengalami perubahan, penelitian Wade dan Philips yang dimuat dalam karya yang berjudul Constitusional Law tahun 1955 berpendapat bahwa rule of law sudah berbeda dibandingkan pada waktu awalnya.20 Begitu juga dengan konsep negara hukum rechsstaat, dikemukakan oleh Paul Scholten dalam karya ilmiahnya yang berjudul Verzamelde Geschriften tahun 1935 dinyatakan bahwa dalam membahas unsur-unsur negara hukum dibedakan tingkatan unsur-unsur negara hukum , unsur yang dianggap penting dinamakan sebagai asas, dan unsur yang merupakan perwujudan asas dinamakan sebagai aspek.
Berikut ini adalah gambaran atas asas-asas (unsur utama) dan aspek dari negara hukum Scholten, yakni unsur utamanya adalah adanya hak warga negara terhadap negara/raja. Unsur ini mencakup 2 (dua) aspek; pertama hak individu pada prinsipnya berada di luar wewenang negara, kedua pembatasan hak individu hanyalah dengan ketentuan undang-undang yang berupa peraturan yang berlaku umum. Unsur kedua, adanya pemisahan kekuasaan
yakni dengan mengikuti Montesquieu dimana rakyat diikut sertakan di
dalamnya.
Perubahan konsep negara hukum ini disebabkan konsep negara hukum formal telah menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Menghadapi hal seperti itu pemerintah pada waktu itu tidak dapat berbuat apa-apa karena menurut prinsip negara hukum formal pemerintah hanya bertugas sebagai pelaksana undang-undang. Hal ini telah mengalami perubahan pengertian asas legalitas dalam prakteknya, yang semula diartikan pemerintahan berdasarkan atas undang-undang (wetmatigheit van het bestuur) keadaan inilah yang menumbulkan gagasan negara hukum material (welfare state).
Tindakan pemerintah atau penguasa sepanjang untuk kepentingan umum agar kemakmuran benar-benar terwujud secara nyata jadi bukan kemakmuran maya, maka hal ini dianggap diperkenankan oleh rakyat dalam negara hukum yang baru, yaitu negara hukum kemakmuran (welvaarts staat) dan negara adalah alat bagi suatu bangsa untuk mencapai tujuannya.
Perumusan ciri negara hukum dari konsep rechtstaat dan rule of law sebagaimana dikemukakan oleh A.V Dicey dan F.J Stahl kemudian
diinteregasikan pada perincian baru yang lebih memungkinkan pemerintah bersikap aktif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dihasilkan konferensi dari Internasional Comission of Jurist di Bangkok tahun 1965 menciptakan konsep negara yang dinamis atau konsep negara hukum material (welfare state) sebagai berikut :
1.    Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula menentukan cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2.    Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3.    Adanya pemilihan umum yang bebas.
4.    Adanya kebebasan menyatakan pendapat.
5.    Adanya kebebasan berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.
6.    Adanya pendidikan kewarganegaraan.23
Menurut Mahfud, selain dapat dilihat dari lingkup tugas pemerintah perbedaan Negara hukum dalam arti formal dan material dapat juga dilihat dari segi materi hukumnya. Negara hukum dalam arti formal didasarkan pada paham legisme yang berpandangan bahwa hukum itu sama dengan undang-undang sehingga menegakkan hukum berarti menegakkan undang-undang atau apa yang ditetapkan oleh badan legislatif, sedangkan Negara hukum dalam arti material melihat bahwa hukum bukan hanya yang secara formal ditetapkan oleh lembaga legislatif tetapi yang dipentingkan adalah nilai keadilannya. Seperti yang berlaku di Inggris misalnya, bisa saja undang-undang dikesampingkan bilamana bertentangan dengan rasa keadilan, oleh karenanya penegakkan hukum itu berarti penegakkan keadilan dan kebenaran.
Padmo Wahjono menyatakan, Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, yang berpangkal tolak pada perumusan sebagai yang digariskan oleh pembentuk undang-undang dasar Indonesia yaitu, Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum , dengan rumusan “rechtstaat” di kurung; dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, yang artinya digunakan dengan ukuran pandang hidup maupun pandangan bernegara bangsa Indonesia.
Bahwa pola ini merupakan suatu hasil pemikiran yang disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, nampak jelas kalau dihubungkan dengan teori-teori lainnya yang digunakan pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 dalam menyusun dan menggerakkan organisasi negara.
Meskipun UUD 1945 tidak memuat pernyataan secara tegas tentang negara hukum dan istilah tersebut tidak secara eksplisit muncul baik di dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945, tetapi muncul di dalam Penjelasan UUD 1945 dan dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yakni sebagai kunci pokok pertama dari sistem pemerintahan negara yang berbunyi, Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat).

KEKUATAN AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI TERTULIS

Bukti tulisan didalam perkara perdata merupakan bukti yang utama, karena dalam hubungan keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila timbul suatu perselisihan dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berupa tulisan.
Dari bukti-bukti tulisan itu terdapat sesuatu yang sangat berarti untuk pembuktian, yang dinamakan akta, suatu akta adalah suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk di jadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani, dengan demikian maka unsur yang penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk membuat suatu bukti tertulis penandatanganan akta itu, syarat penandatanganan itu dapat dilihat dari pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 1 Ordonansi tahun 1867 Nomor 29 yang memuat “Ketentuanketentuan tentang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan dibawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka”.
Seorang Notaris, Hakim, Juru sita pada suatu pengadilan, dan seorang Pegawai Catatan Sipil adalah pejabat umum yang ditunjuk oleh undang-undang, dengan demikian maka akta notaris, surat keputusan hakim, surat proses verbal yang dibuat oleh juru sita pengadilan dan surat-surat perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil adalah Akta-akta Otentik.
Apabila dua orang datang kepada seorang notaries, menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu perjanjian dan meminta kepada Notaris supaya dibuatkan suatu akta, maka akta ini adalah suatu akta yang dibuat dihadapan Notaris, Notaris hanya mendengarkan sesuatu yang dikehendaki oleh kedua belah pihak yang menghadap dan meletakkan perjanjian yang dibuat oleh dua orang tadi dalam suatu akta.
Pada dasarnya bentuk suatu akta notaris yang berisikan perbuatan-perbuatan dan hal-hal lain yang dikonstantir oleh notaris, pada umumnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam perundang-undangan yang berlaku mengenai itu, antara lain kitab undang-undang hukum perdata Indonesia dan Undang-undang jabatan Notaris, Akta akan memiliki suatu karakter yang otentik, jika akta itu mempunyai daya bukti antara para pihak dan terhadap pihak ketiga, sehingga hal itu merupakan jaminan bagi para pihak, bahwa perbuatan-perbuatan atau keterangan-keterangan yang dikemukankan memberikan suatu bukti yang tidak dapat dihilangkan.
Notaris diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk dapat melaksanakan jabatannya dengan pengaruh yang diharapkan, kuasa dari Negara yang diberikan kepada Notaris memberikan kewenangan kepadanya untuk membuat akta sebagai nilai kepercayaan yang besar, karena itulah akta mempunyai kekuatan pembuktian yang lebih utama dibandingkan kesaksian dari orang-orang yang diperkuat oleh sumpah.
Apabila seorang pejabat yang berwenang membuat suatu akta, maka akta tersebut merupakan suatu akta otentik dan otensitasnya itu bertahan terus bahkan sampai sesudah ia meninggal dunia. Tanda tangannya pada akta tersebut tetap mempunyai kekuatan, walaupun ia tidak dapat lagi menyampaikan keterangan mengenai kejadian-kejadian pada saat pembuatan akta dan jika pejabat tersebut untuk sementara waktu diberhentikan atau dipecat dari jabatannya, maka akta-akta tersebut tetap memiliki kekuatan otensitasnya, tetapi akta-akta tersebut harus telah dibuat sebelum pemberhentian atau pemecatan sementara waktu itu dijatuhkan.
Apabila suatu akta otentik yang berbentuk apapun juga dituduh sebagai barang palsu maka pelaksanaan akta tersebut dapat ditangguhkan sesuai dengan ketetapan-ketetapan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dalam hal itu berlaku pada tingkat pertama ketentuan tentang Actori incumbit probation artinya ; “orang yang menuduh sesuatu barang palsu harus dapat membuktikannya”, jika ia
mendasarkan tuntutannya terhadap penipuan yang dilakukan, maka ia
mengajukan bukti-bukti tentang hal itu harus membuktikan fakta-fakta yang dituduhkannya dan jika ia tidak dapat melakukan hal itu, maka ia kehilangan semua dasar dari tuntutannya dan akta tersebut tetap mempunyai daya bukti dan pihak-pihak harus bersikap yang sama terhadapnya.
Undang-undang jabatan Notaris dengan tegas menyatakan bahwa suatu akta otentik dapat ditentang berdasarkan kepalsuan, sebagaimana bunyi Pasal 1872 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, namun kepalsuan tersebut dapat berupa dua macam yaitu :
1.    Pejabat yang melakukan pemalsuan terhadap akta misalnya menguraikan didalam suatu surat wasiat mengenai hibah, yang oleh pewaris tidak diperintahkan kepadanya dan pemalsuan ini disebut pemalsuan intelektual, Pejabat yang memalsukan suatu akta tidak dapat melakukannya dengan cara lain kecuali dengan tujuan jahat.
2.    Orang mengubah isi sesuatu akta setelah akta tersebut dibuat.
Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari suatu akta otentik menurut Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 165 RIB (Pasal 285 RDS) suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya, Akta otentik itu merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa sesuatu yang ditulis dalam akta harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan dan ia sudah tidak memerlukan suatu bukti lain, dalam arti sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian, ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna.
Akta otentik tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan sesuatu yang dituliskan, tetapi juga sesyatu yang diterangkan tadi adalah benar, Penafsiran yang demikian itu diambil dari Pasal 1871 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 165 RIB (Pasal 285 RDS), dimana disebutkan bahwa suatu akta otentik tidak hanya memberikan bukti yang sempurna tentang tentang sesuatu yang termuat didalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selainnya sekadar sesuatu yhang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta, dari pasal tersebut diambilah mengenai segala sesuatu yang menjadi pokok isi akta itu, yaitu segala sesuatu yang tegas dinyatakan oleh para penandatanganan akta.
Akta otentik tidak hanya mempunyai kukuatan pembuktian formal, yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan sesuatu yang ditulis dalam akta tersebut, tetapi juga mempunyai kekuatan pembuktian materiil, yaitu bahwa sesuatu yang diterangkan tadi adalah benar, inilah yang dinamakan kekuatan pembuktian mengikat, disimpulkan bahwa kekuatan pembuktian akta otentik, adalah sah sebagai berikut :
a.    Merupakan bukti sempurna/lengkap bagi para pihak, ahli waris dan orang-orang yang mendapatkan hak dari padanya, bukti sempurna /lengkap berarti bahwa kebenaran dari isi akta tersebut harus diakui, tanpa ditambah dengan pembuktian yang lain, sampai dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.
b.    Merupakan bukti bebas bagi pihak ketiga, bukti bebas artinya kebenaran dari isi akta diserahkan pada penilaian hakim, jika dibuktikan sebaliknya.
Dari kekuatan pembuktian di atas, dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap akta notaris mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu meliputi :
1.    Kekuatan pembuktian yang luar (uitwendige bewijskracht), ialah syarat-syarat formal yang diperlukan agar supaya akta notaries dapat berlaku sebagai akta otentik.
2.    Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), ialah kepastian bahwa suatu kejadian dan akta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangakan oleh pihak-pihak yang menghadap.
3.    Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht), ialah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs)
Adapun untuk lebih jelas dalam memahami kekuatan pembuktian akta otentik, penulis menambahkan pendapat th. Kussunaryatun, dimana ada tiga macam kekuatan pembuktian akta otentik yaitu :
a.    Kekuatan Bukti Formil, yaitu kebenaran dari peristiwa yang dinyatakan didalam akta dengan kata lain apakah pada tanggal tertentu benar-benar telah menerangkan sesuatu.
b.    Kekuatan Pembuktian Materiil, yaitu kebenaran dari isi akta dipandang dari segi yuridist, dengan kata lain apakah sesuatu yang diterangkan benar-benar terjadi.
c.     Kekuatan pembuktian lahir, yaitu syarat-syarat dari terbentuknya akat otentik sudah terpenuhi.
Akta-akta mengenai perjanjian/persetujuan berdasarkan kehendak dan permintaan para pihak, yang belum ada dan diatur dalam bentuk undang-undang, berfungsi sebagai penemuan hukum, bahkan perjanjian dan atau persetujuan itu berkedudukan atau mempunyai kekuatan yang sama dengan undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan dibuatnya akta otentik oleh pihak-pihak yang berkepentingan maka mereka memperoleh bukti tertulis dan kepastian hukum, yang berupa :
1.    Pihak yang berkepentingan oleh undang-undang dinyatakan mempunyai alat bukti yang lengakap/sempurna dan akta itulah telah membuktikan dirinya sendiri, dengan kata lain apabila didalam suatu perkara salah satu pihak mengajukan alat bukti berupa akta otentik, maka hakim dalam perkara itu tidak boleh memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk menambah alat bukti lain untuk menguatkan akta otentik tadi.
2.    Akta-akta notaris tertentu dapat dikeluarkan turunan yang istimewanya yaitu dalam bentuk grosse akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial, sebagaimana halnya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti untuk dijalankan.
Berdasarkan uraian dan penjelasan yang telah dikemukakan di atas, fungsi dan kedudukan dari akta notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan istimewa sebagai alat bukti, kekuatan pembuktian akta otentik demikian juga (termasuk didalamnya) akta notaris adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu dalam pemberian tugas inilah terletak tanda kepercayaan kepada pejabat dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang mereka buat, sebab apabila tidak demikian untuk apa menugaskan kepada mereka untuk “memberikan keterangan dari segala sesuatu yang mereka saksikan didalam menjalankan jabatan mereka atau untuk meretalir secara otentik segala sesuatu yang diterangkan oleh para penghadap kepada notaris, dengan permintaan agar keterangan-keterangan mereka dicantumkan dalam suatu akta dan menugaskan mereka untuk membuat akta mengenai itu”.