Cita negara hukum untuk pertama kali dikemukakan oleh Plato, (Athena
429 SM) sedikitnya ada tiga karya yang sangat relevan dengan masalah kenegaraan
yaitu : Politeia (the republica) adalah buku pertama yang ditulis dengan
melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh orang yang haus akan harta,
kekuasaan dan gila hormat; Politicos (the statemen) buku kedua ini
beranggapan perlu adanya hukum untuk mengatur warga Negara saja dan tidak harus
berlaku bagi penguasa karena penguasa memiliki pengetahuan tentang hal itu dan
dapat membuat hukum; Nomoi (the law) buku ketiga ini Plato memberikan
perhatian dan arti yang lebih tinggi pada hukum, penyelenggaraan pemerintahan
yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Ide tersebut dilanjutkan oleh
Aristoteles dengan karyanya Politica, disamping membahas masalah
kenegaraan juga meneliti dan memperbandingkan konstitusi dari negara-negara
Yunani. Menurut Azhary bahwa Aristoteles dapat dianggap sebagai peletak batu
pertama Ilmu Perbandingan Hukum Tata Negara mengatakan bahwa suatu negara yang
baik ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Konsep tentang hukum sebagai cermin tata keadilan telah dikembangkan
oleh para pemikir Yunani terutama Plato dan Aristoteles. Dalam pandangannya
Plato menyatakan bahwa keadilan akan terwujud jika Negara ditata sesuai dengan
bentuk ideal sebagaimana ditetapkan oleh raja yang sekaligus filosuf dan
dihubungkan dengan hukum yang berlaku dalam sebuah “polis”. Hukum adalah
refleksi pengetahuan manusia pada umumnya yang dikembangkan secara sempurna.
Bagi Plato, hukum identik dengan jalan pikiran yang nalar yang diwujudkan dalam
dekrit yang dikeluarkan oleh negara. Hukum memiliki kualitas tidak tertulis dan
alamiah sebagaimana terdapat di dalam kodrat manusia. Hukum juga dipandang
identik dengan moralitas dan tujuan hukum adalah menghasilkan manusia yang
benar-benar baik. Menurut Plato, hukum diberlakukan dengan maksud untuk
membantu manusia menciptakan kesatuan dalam hidup komunitas atau ketertiban
sosial,
atau kebaikan umum.
Seperti Plato, gagasan
Aristoteles tentang hukum tidak tersusun secara sistematis, melainkan tersebar
di berbagai tulisannya. Aristoteles membedakan antara konsep tentang hukum dari
konsep tentang konstitusi. Hukum berhubungan dengan organisasi antar lembaga
dalam sebuah Negara, sedangkan konstitusi berhubungan dengan hal-hal yang harus
dikerjakan oleh masing-masing lembaga dalam menyelenggarakan Negara.
Berdasarkan terjadinya,
terdapat dua jenis hukum yaitu hukum kodrat dan hukum yang didasarkan atas
perjanjian antar manusia. Menurut Aristoteles, kedua jenis hukum ini tidak ada
bedanya sebab menurut hukum kodratnya, manusia adalah makhluk yang harus hidup
dalam persekutuan dangan sesamanya (makhluk polis). Di dalam dirinya ada
dorongan yang berasal dari kodratnya sendiri yang menjadi alasan mengapa
manusia menginginkan hidup bermasyarakat dan sekaligus ada dorongan lain yang disebabkan
oleh kepentingan yang berlaku umum yang mendorong individu untuk berpartisipasi
dengan sesamanya dalam menciptakan kehidupan yang baik. Hidup yang baik
merupakan cita-cita tertinggi yang hendak dicapai, baik oleh masyarakat secara
keseluruhan maupun oleh setiap individu. Demi citacita ini, secara bersama-sama
manusia kemudian membentuk dan
menyelenggarakan sebuah persekutuan politis atau sebuah Negara.
Cita Negara hukum ini lama
dilupakan orang, baru pada awal abad XVII timbul kembali di Barat yang
merupakan janin konsep Negara hukum yang mulai dikenal pada abad XIX. John
Locke dalam Two Treatises on Civil Government menyatakan bahwa: Manusia
sejak dilahirkan telah memiliki kebebasan dan hak asasi, dan hak asasi manusia
itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun terkecuali atas persetujuan
pemiliknya, namun keadaan alami, hak-hak asasi dan kebebasannya belum terjamin
penuh agar supaya hak-hak asasi dan kebebasan yang satu jangan melanggar
hak-hak asasi dan kebebasan yang lainnya, maka mereka sepakat untuk mengakhiri
keadaan alami dengan membentuk Body Politic atau Negara, yang tujuan negara
adalah menjaga dan menjamin terlaksananya kebebasan dan hak asasi manusia.
Demikian perjanjian masyarakat
itu sama artinya dengan hukum, dan kekuasaan negara terdiri atas kekuasaan
pembentuk undang-undang, kekuasaan pelaksanaan undang-undang, kekuasaan
federatif, yang buah pikirannya dipopulerkan oleh Montesquieu.
Montesquieu mengatakan bahwa
fungsi Negara hukum harus dipisahkan dalam 3 (tiga) kekuasaan lembaga Negara
dikenal dengan nama Trias Politika, yaitu :
1. Kekuasaan legislatif,
yang membentuk undang-undang.
2. Kekuasaan Yudikatif,
yang menjatuhkan hukuman atas kejahatan dan yang memberikan putusan apabila
terjadi perselisihan antara para warga.
3. Kekuasaan Eksekutif,
yang melaksanakan undang-undang, memaklumkan perang, mengadakan perdamaian
dengan Negara-negara lain, menjaga tata tertib, menindas pemberontakan dan
lain-lain.
Konsep negara hukum lahir dari
suatu perjuangan menentang absolutisme dan memberikan pengakuan serta
perlindungan hak asasi
manusia, baik konsep continental yang disebut civil law, modern Roman
Law, dengan latar belakang perjuangan yang bersifat revolusioner maupun rule
of law yang bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law dengan
latar belakang berkembang secara evolusioner. Artinya pemikiran Negara
hukum timbul sebagai reaksi atas konsep Negara polisi (polizei staat).
Mengikuti Hans
Nawiasky, polizei terdiri atas dua hal, yaitu Sicherheit dan Verwaltungpolizei
yang berfungsi sebagai penyelenggara perekonomian atau penyelenggara
semua kebutuhan hidup warga Negara. Oleh karena itu arti polizei staat adalah
Negara yang menyelenggarakan ketertiban dan keamanan serta
menyelenggarakan semua kebutuhan hidup warga negaranya.
Kedua konsep ini, baik rechtsstaat
maupun rule of law yang merupakan produk abad XIX dan dipengaruhi
oleh paham yang menitikberatkan pada individualisme telah menjadikan pemerintah
sebagai nachwakersstaat (penjaga malam) yang lingkup tugasnya sangat
sempit, terbatas pada tugas melaksanakan keputusan-keputusan parlemen yang dituangkan
di dalam undang-undang. Dengan kata lain, pemerintah dituntut untuk pasif dalam
arti hanya menjadi wasit atau pelaksana berbagai keinginan rakyat yang
dituangkan di dalam undang-undang oleh parlemen.
Konsep Negara hukum rule of law di abad XIX, Albert Venn Dicey
dengan karyanya
yang berjudul Introduction to Study of The Law of The Constitution tahun
1985 mengemukakan 3 (tiga) unsur utama rule of law yakni, supremacy
of law, equality before the law, constitution based on individual rights.
Sedangkan konsep Negara hukum rechtsstaat yang ditulis oleh
Immanuel Kant dalam karyanya yang berjudul Methaphysiche Ansfangsgrunde Der
Rechtslehre yang dikenal dengan nama negara hukum liberal (nachwachter
staat) yakni pembebasan penyelenggaraan perekonomian atau kemakmuran
diserahkan pada rakyat dan negara tidak campur tangan dalam hal
tersebut.
Konsep tersebut kemudian diperbaiki oleh Frederich Julius Stahl
yang dinamakan negara hukum formal yang unsur utamanya adalah mengakui
hak asasi manusia. Melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan
Negara harus berdasarkan teori trias politika, dalam menjalankan
tugasnya pemerintah berdasarkan atas undang-undang dan apabila dalam
menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang pemerintah masih
melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi
seseorang), maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikan.
Memasuki abad ke XX perkembangan konsep Negara hukum rule of law mengalami
perubahan, penelitian Wade dan Philips yang dimuat dalam karya yang
berjudul Constitusional Law tahun 1955 berpendapat bahwa rule of law sudah
berbeda dibandingkan pada waktu awalnya.20 Begitu juga dengan konsep
negara hukum rechsstaat, dikemukakan oleh Paul Scholten dalam karya
ilmiahnya yang berjudul Verzamelde Geschriften tahun 1935 dinyatakan bahwa
dalam membahas unsur-unsur negara hukum dibedakan tingkatan unsur-unsur
negara hukum , unsur yang dianggap penting dinamakan sebagai asas, dan
unsur yang merupakan perwujudan asas dinamakan sebagai aspek.
Berikut ini adalah gambaran atas asas-asas (unsur utama) dan aspek
dari negara hukum Scholten, yakni unsur utamanya adalah adanya hak warga negara
terhadap negara/raja. Unsur ini mencakup 2 (dua) aspek; pertama hak individu
pada prinsipnya berada di luar wewenang negara, kedua pembatasan hak individu
hanyalah dengan ketentuan undang-undang yang berupa peraturan yang berlaku
umum. Unsur
kedua, adanya pemisahan kekuasaan
yakni dengan mengikuti Montesquieu dimana rakyat diikut sertakan di
dalamnya.
Perubahan konsep negara hukum
ini disebabkan konsep negara hukum formal telah menimbulkan kesenjangan sosial
dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Menghadapi hal seperti itu pemerintah
pada waktu itu tidak dapat berbuat apa-apa karena menurut prinsip negara hukum
formal pemerintah hanya bertugas sebagai pelaksana undang-undang. Hal ini telah
mengalami perubahan pengertian asas legalitas dalam prakteknya, yang semula
diartikan pemerintahan berdasarkan atas undang-undang (wetmatigheit van het
bestuur) keadaan inilah yang menumbulkan gagasan negara hukum material (welfare
state).
Tindakan pemerintah atau
penguasa sepanjang untuk kepentingan umum agar kemakmuran benar-benar terwujud
secara nyata jadi bukan kemakmuran maya, maka hal ini dianggap diperkenankan
oleh rakyat dalam negara hukum yang baru, yaitu negara hukum kemakmuran (welvaarts
staat) dan negara adalah alat bagi suatu bangsa untuk mencapai tujuannya.
Perumusan ciri negara hukum
dari konsep rechtstaat dan rule of law sebagaimana dikemukakan
oleh A.V Dicey dan F.J Stahl kemudian
diinteregasikan pada perincian baru yang lebih memungkinkan pemerintah bersikap
aktif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dihasilkan konferensi dari Internasional
Comission of Jurist di Bangkok tahun 1965 menciptakan konsep negara yang
dinamis atau konsep negara hukum material (welfare state) sebagai
berikut :
1.
Perlindungan
konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula
menentukan cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang
dijamin.
2.
Adanya badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3.
Adanya
pemilihan umum yang bebas.
4. Adanya kebebasan
menyatakan pendapat.
5. Adanya kebebasan
berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.
6. Adanya pendidikan
kewarganegaraan.23
Menurut Mahfud, selain dapat
dilihat dari lingkup tugas pemerintah perbedaan Negara hukum dalam arti formal
dan material dapat juga dilihat dari segi materi hukumnya. Negara hukum dalam
arti formal didasarkan pada paham legisme yang berpandangan bahwa hukum itu
sama dengan undang-undang sehingga menegakkan hukum berarti menegakkan
undang-undang atau apa yang ditetapkan oleh badan legislatif, sedangkan Negara
hukum dalam arti material melihat bahwa hukum bukan hanya yang secara formal ditetapkan
oleh lembaga legislatif tetapi yang dipentingkan adalah nilai keadilannya.
Seperti yang berlaku di Inggris misalnya, bisa saja undang-undang dikesampingkan
bilamana bertentangan dengan rasa keadilan, oleh karenanya penegakkan hukum itu
berarti penegakkan keadilan dan kebenaran.
Padmo Wahjono menyatakan,
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, yang berpangkal tolak pada
perumusan sebagai yang digariskan oleh pembentuk undang-undang dasar Indonesia
yaitu, Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum , dengan rumusan “rechtstaat”
di kurung; dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian
negara hukum pada umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan keadaan di
Indonesia, yang artinya digunakan dengan ukuran pandang hidup maupun pandangan
bernegara bangsa Indonesia.
Bahwa pola ini merupakan suatu
hasil pemikiran yang disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, nampak jelas
kalau dihubungkan dengan teori-teori lainnya yang digunakan pembentuk
Undang-Undang Dasar 1945 dalam menyusun dan menggerakkan organisasi negara.
Meskipun UUD 1945 tidak memuat
pernyataan secara tegas tentang negara hukum dan istilah tersebut tidak secara
eksplisit muncul baik di dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945, tetapi
muncul di dalam Penjelasan UUD 1945 dan dalam UUD 1945 yang telah diamandemen
yakni sebagai kunci pokok pertama dari sistem pemerintahan negara yang
berbunyi, Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)
dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat).