Total Tayangan Halaman

Minggu, 02 Juni 2013

NEGARA HUKUM


Cita negara hukum untuk pertama kali dikemukakan oleh Plato, (Athena 429 SM) sedikitnya ada tiga karya yang sangat relevan dengan masalah kenegaraan yaitu : Politeia (the republica) adalah buku pertama yang ditulis dengan melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh orang yang haus akan harta, kekuasaan dan gila hormat; Politicos (the statemen) buku kedua ini beranggapan perlu adanya hukum untuk mengatur warga Negara saja dan tidak harus berlaku bagi penguasa karena penguasa memiliki pengetahuan tentang hal itu dan dapat membuat hukum; Nomoi (the law) buku ketiga ini Plato memberikan perhatian dan arti yang lebih tinggi pada hukum, penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Ide tersebut dilanjutkan oleh Aristoteles dengan karyanya Politica, disamping membahas masalah kenegaraan juga meneliti dan memperbandingkan konstitusi dari negara-negara Yunani. Menurut Azhary bahwa Aristoteles dapat dianggap sebagai peletak batu pertama Ilmu Perbandingan Hukum Tata Negara mengatakan bahwa suatu negara yang baik ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Konsep tentang hukum sebagai cermin tata keadilan telah dikembangkan oleh para pemikir Yunani terutama Plato dan Aristoteles. Dalam pandangannya Plato menyatakan bahwa keadilan akan terwujud jika Negara ditata sesuai dengan bentuk ideal sebagaimana ditetapkan oleh raja yang sekaligus filosuf dan dihubungkan dengan hukum yang berlaku dalam sebuah “polis”. Hukum adalah refleksi pengetahuan manusia pada umumnya yang dikembangkan secara sempurna. Bagi Plato, hukum identik dengan jalan pikiran yang nalar yang diwujudkan dalam dekrit yang dikeluarkan oleh negara. Hukum memiliki kualitas tidak tertulis dan alamiah sebagaimana terdapat di dalam kodrat manusia. Hukum juga dipandang identik dengan moralitas dan tujuan hukum adalah menghasilkan manusia yang benar-benar baik. Menurut Plato, hukum diberlakukan dengan maksud untuk membantu manusia menciptakan kesatuan dalam hidup komunitas atau ketertiban sosial,
atau kebaikan umum.
Seperti Plato, gagasan Aristoteles tentang hukum tidak tersusun secara sistematis, melainkan tersebar di berbagai tulisannya. Aristoteles membedakan antara konsep tentang hukum dari konsep tentang konstitusi. Hukum berhubungan dengan organisasi antar lembaga dalam sebuah Negara, sedangkan konstitusi berhubungan dengan hal-hal yang harus dikerjakan oleh masing-masing lembaga dalam menyelenggarakan Negara.
Berdasarkan terjadinya, terdapat dua jenis hukum yaitu hukum kodrat dan hukum yang didasarkan atas perjanjian antar manusia. Menurut Aristoteles, kedua jenis hukum ini tidak ada bedanya sebab menurut hukum kodratnya, manusia adalah makhluk yang harus hidup dalam persekutuan dangan sesamanya (makhluk polis). Di dalam dirinya ada dorongan yang berasal dari kodratnya sendiri yang menjadi alasan mengapa manusia menginginkan hidup bermasyarakat dan sekaligus ada dorongan lain yang disebabkan oleh kepentingan yang berlaku umum yang mendorong individu untuk berpartisipasi dengan sesamanya dalam menciptakan kehidupan yang baik. Hidup yang baik merupakan cita-cita tertinggi yang hendak dicapai, baik oleh masyarakat secara keseluruhan maupun oleh setiap individu. Demi citacita ini, secara bersama-sama manusia kemudian membentuk dan
menyelenggarakan sebuah persekutuan politis atau sebuah Negara.
Cita Negara hukum ini lama dilupakan orang, baru pada awal abad XVII timbul kembali di Barat yang merupakan janin konsep Negara hukum yang mulai dikenal pada abad XIX. John Locke dalam Two Treatises on Civil Government menyatakan bahwa: Manusia sejak dilahirkan telah memiliki kebebasan dan hak asasi, dan hak asasi manusia itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun terkecuali atas persetujuan pemiliknya, namun keadaan alami, hak-hak asasi dan kebebasannya belum terjamin penuh agar supaya hak-hak asasi dan kebebasan yang satu jangan melanggar hak-hak asasi dan kebebasan yang lainnya, maka mereka sepakat untuk mengakhiri keadaan alami dengan membentuk Body Politic atau Negara, yang tujuan negara adalah menjaga dan menjamin terlaksananya kebebasan dan hak asasi manusia.
Demikian perjanjian masyarakat itu sama artinya dengan hukum, dan kekuasaan negara terdiri atas kekuasaan pembentuk undang-undang, kekuasaan pelaksanaan undang-undang, kekuasaan federatif, yang buah pikirannya dipopulerkan oleh Montesquieu.
Montesquieu mengatakan bahwa fungsi Negara hukum harus dipisahkan dalam 3 (tiga) kekuasaan lembaga Negara dikenal dengan nama Trias Politika, yaitu :
1.    Kekuasaan legislatif, yang membentuk undang-undang.
2.    Kekuasaan Yudikatif, yang menjatuhkan hukuman atas kejahatan dan yang memberikan putusan apabila terjadi perselisihan antara para warga.
3.    Kekuasaan Eksekutif, yang melaksanakan undang-undang, memaklumkan perang, mengadakan perdamaian dengan Negara-negara lain, menjaga tata tertib, menindas pemberontakan dan lain-lain.
Konsep negara hukum lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme dan memberikan pengakuan serta perlindungan hak asasi
manusia, baik konsep continental yang disebut civil law, modern Roman Law, dengan latar belakang perjuangan yang bersifat revolusioner maupun rule of law yang bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law dengan latar belakang berkembang secara evolusioner. Artinya pemikiran Negara hukum timbul sebagai reaksi atas konsep Negara polisi (polizei staat).
Mengikuti Hans Nawiasky, polizei terdiri atas dua hal, yaitu Sicherheit dan Verwaltungpolizei yang berfungsi sebagai penyelenggara perekonomian atau penyelenggara semua kebutuhan hidup warga Negara. Oleh karena itu arti polizei staat adalah Negara yang menyelenggarakan ketertiban dan keamanan serta menyelenggarakan semua kebutuhan hidup warga negaranya.
Kedua konsep ini, baik rechtsstaat maupun rule of law yang merupakan produk abad XIX dan dipengaruhi oleh paham yang menitikberatkan pada individualisme telah menjadikan pemerintah sebagai nachwakersstaat (penjaga malam) yang lingkup tugasnya sangat sempit, terbatas pada tugas melaksanakan keputusan-keputusan parlemen yang dituangkan di dalam undang-undang. Dengan kata lain, pemerintah dituntut untuk pasif dalam arti hanya menjadi wasit atau pelaksana berbagai keinginan rakyat yang dituangkan di dalam undang-undang oleh parlemen.
Konsep Negara hukum rule of law di abad XIX, Albert Venn Dicey
dengan karyanya yang berjudul Introduction to Study of The Law of The Constitution tahun 1985 mengemukakan 3 (tiga) unsur utama rule of law yakni, supremacy of law, equality before the law, constitution based on individual rights.
Sedangkan konsep Negara hukum rechtsstaat yang ditulis oleh Immanuel Kant dalam karyanya yang berjudul Methaphysiche Ansfangsgrunde Der Rechtslehre yang dikenal dengan nama negara hukum liberal (nachwachter staat) yakni pembebasan penyelenggaraan perekonomian atau kemakmuran diserahkan pada rakyat dan negara tidak campur tangan dalam hal tersebut.
Konsep tersebut kemudian diperbaiki oleh Frederich Julius Stahl yang dinamakan negara hukum formal yang unsur utamanya adalah mengakui hak asasi manusia. Melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan Negara harus berdasarkan teori trias politika, dalam menjalankan tugasnya pemerintah berdasarkan atas undang-undang dan apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikan.
Memasuki abad ke XX perkembangan konsep Negara hukum rule of law mengalami perubahan, penelitian Wade dan Philips yang dimuat dalam karya yang berjudul Constitusional Law tahun 1955 berpendapat bahwa rule of law sudah berbeda dibandingkan pada waktu awalnya.20 Begitu juga dengan konsep negara hukum rechsstaat, dikemukakan oleh Paul Scholten dalam karya ilmiahnya yang berjudul Verzamelde Geschriften tahun 1935 dinyatakan bahwa dalam membahas unsur-unsur negara hukum dibedakan tingkatan unsur-unsur negara hukum , unsur yang dianggap penting dinamakan sebagai asas, dan unsur yang merupakan perwujudan asas dinamakan sebagai aspek.
Berikut ini adalah gambaran atas asas-asas (unsur utama) dan aspek dari negara hukum Scholten, yakni unsur utamanya adalah adanya hak warga negara terhadap negara/raja. Unsur ini mencakup 2 (dua) aspek; pertama hak individu pada prinsipnya berada di luar wewenang negara, kedua pembatasan hak individu hanyalah dengan ketentuan undang-undang yang berupa peraturan yang berlaku umum. Unsur kedua, adanya pemisahan kekuasaan
yakni dengan mengikuti Montesquieu dimana rakyat diikut sertakan di
dalamnya.
Perubahan konsep negara hukum ini disebabkan konsep negara hukum formal telah menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Menghadapi hal seperti itu pemerintah pada waktu itu tidak dapat berbuat apa-apa karena menurut prinsip negara hukum formal pemerintah hanya bertugas sebagai pelaksana undang-undang. Hal ini telah mengalami perubahan pengertian asas legalitas dalam prakteknya, yang semula diartikan pemerintahan berdasarkan atas undang-undang (wetmatigheit van het bestuur) keadaan inilah yang menumbulkan gagasan negara hukum material (welfare state).
Tindakan pemerintah atau penguasa sepanjang untuk kepentingan umum agar kemakmuran benar-benar terwujud secara nyata jadi bukan kemakmuran maya, maka hal ini dianggap diperkenankan oleh rakyat dalam negara hukum yang baru, yaitu negara hukum kemakmuran (welvaarts staat) dan negara adalah alat bagi suatu bangsa untuk mencapai tujuannya.
Perumusan ciri negara hukum dari konsep rechtstaat dan rule of law sebagaimana dikemukakan oleh A.V Dicey dan F.J Stahl kemudian
diinteregasikan pada perincian baru yang lebih memungkinkan pemerintah bersikap aktif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dihasilkan konferensi dari Internasional Comission of Jurist di Bangkok tahun 1965 menciptakan konsep negara yang dinamis atau konsep negara hukum material (welfare state) sebagai berikut :
1.    Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula menentukan cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2.    Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3.    Adanya pemilihan umum yang bebas.
4.    Adanya kebebasan menyatakan pendapat.
5.    Adanya kebebasan berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.
6.    Adanya pendidikan kewarganegaraan.23
Menurut Mahfud, selain dapat dilihat dari lingkup tugas pemerintah perbedaan Negara hukum dalam arti formal dan material dapat juga dilihat dari segi materi hukumnya. Negara hukum dalam arti formal didasarkan pada paham legisme yang berpandangan bahwa hukum itu sama dengan undang-undang sehingga menegakkan hukum berarti menegakkan undang-undang atau apa yang ditetapkan oleh badan legislatif, sedangkan Negara hukum dalam arti material melihat bahwa hukum bukan hanya yang secara formal ditetapkan oleh lembaga legislatif tetapi yang dipentingkan adalah nilai keadilannya. Seperti yang berlaku di Inggris misalnya, bisa saja undang-undang dikesampingkan bilamana bertentangan dengan rasa keadilan, oleh karenanya penegakkan hukum itu berarti penegakkan keadilan dan kebenaran.
Padmo Wahjono menyatakan, Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, yang berpangkal tolak pada perumusan sebagai yang digariskan oleh pembentuk undang-undang dasar Indonesia yaitu, Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum , dengan rumusan “rechtstaat” di kurung; dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, yang artinya digunakan dengan ukuran pandang hidup maupun pandangan bernegara bangsa Indonesia.
Bahwa pola ini merupakan suatu hasil pemikiran yang disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, nampak jelas kalau dihubungkan dengan teori-teori lainnya yang digunakan pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 dalam menyusun dan menggerakkan organisasi negara.
Meskipun UUD 1945 tidak memuat pernyataan secara tegas tentang negara hukum dan istilah tersebut tidak secara eksplisit muncul baik di dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945, tetapi muncul di dalam Penjelasan UUD 1945 dan dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yakni sebagai kunci pokok pertama dari sistem pemerintahan negara yang berbunyi, Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat).

KEKUATAN AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI TERTULIS

Bukti tulisan didalam perkara perdata merupakan bukti yang utama, karena dalam hubungan keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila timbul suatu perselisihan dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berupa tulisan.
Dari bukti-bukti tulisan itu terdapat sesuatu yang sangat berarti untuk pembuktian, yang dinamakan akta, suatu akta adalah suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk di jadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani, dengan demikian maka unsur yang penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk membuat suatu bukti tertulis penandatanganan akta itu, syarat penandatanganan itu dapat dilihat dari pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 1 Ordonansi tahun 1867 Nomor 29 yang memuat “Ketentuanketentuan tentang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan dibawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka”.
Seorang Notaris, Hakim, Juru sita pada suatu pengadilan, dan seorang Pegawai Catatan Sipil adalah pejabat umum yang ditunjuk oleh undang-undang, dengan demikian maka akta notaris, surat keputusan hakim, surat proses verbal yang dibuat oleh juru sita pengadilan dan surat-surat perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil adalah Akta-akta Otentik.
Apabila dua orang datang kepada seorang notaries, menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu perjanjian dan meminta kepada Notaris supaya dibuatkan suatu akta, maka akta ini adalah suatu akta yang dibuat dihadapan Notaris, Notaris hanya mendengarkan sesuatu yang dikehendaki oleh kedua belah pihak yang menghadap dan meletakkan perjanjian yang dibuat oleh dua orang tadi dalam suatu akta.
Pada dasarnya bentuk suatu akta notaris yang berisikan perbuatan-perbuatan dan hal-hal lain yang dikonstantir oleh notaris, pada umumnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam perundang-undangan yang berlaku mengenai itu, antara lain kitab undang-undang hukum perdata Indonesia dan Undang-undang jabatan Notaris, Akta akan memiliki suatu karakter yang otentik, jika akta itu mempunyai daya bukti antara para pihak dan terhadap pihak ketiga, sehingga hal itu merupakan jaminan bagi para pihak, bahwa perbuatan-perbuatan atau keterangan-keterangan yang dikemukankan memberikan suatu bukti yang tidak dapat dihilangkan.
Notaris diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk dapat melaksanakan jabatannya dengan pengaruh yang diharapkan, kuasa dari Negara yang diberikan kepada Notaris memberikan kewenangan kepadanya untuk membuat akta sebagai nilai kepercayaan yang besar, karena itulah akta mempunyai kekuatan pembuktian yang lebih utama dibandingkan kesaksian dari orang-orang yang diperkuat oleh sumpah.
Apabila seorang pejabat yang berwenang membuat suatu akta, maka akta tersebut merupakan suatu akta otentik dan otensitasnya itu bertahan terus bahkan sampai sesudah ia meninggal dunia. Tanda tangannya pada akta tersebut tetap mempunyai kekuatan, walaupun ia tidak dapat lagi menyampaikan keterangan mengenai kejadian-kejadian pada saat pembuatan akta dan jika pejabat tersebut untuk sementara waktu diberhentikan atau dipecat dari jabatannya, maka akta-akta tersebut tetap memiliki kekuatan otensitasnya, tetapi akta-akta tersebut harus telah dibuat sebelum pemberhentian atau pemecatan sementara waktu itu dijatuhkan.
Apabila suatu akta otentik yang berbentuk apapun juga dituduh sebagai barang palsu maka pelaksanaan akta tersebut dapat ditangguhkan sesuai dengan ketetapan-ketetapan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dalam hal itu berlaku pada tingkat pertama ketentuan tentang Actori incumbit probation artinya ; “orang yang menuduh sesuatu barang palsu harus dapat membuktikannya”, jika ia
mendasarkan tuntutannya terhadap penipuan yang dilakukan, maka ia
mengajukan bukti-bukti tentang hal itu harus membuktikan fakta-fakta yang dituduhkannya dan jika ia tidak dapat melakukan hal itu, maka ia kehilangan semua dasar dari tuntutannya dan akta tersebut tetap mempunyai daya bukti dan pihak-pihak harus bersikap yang sama terhadapnya.
Undang-undang jabatan Notaris dengan tegas menyatakan bahwa suatu akta otentik dapat ditentang berdasarkan kepalsuan, sebagaimana bunyi Pasal 1872 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, namun kepalsuan tersebut dapat berupa dua macam yaitu :
1.    Pejabat yang melakukan pemalsuan terhadap akta misalnya menguraikan didalam suatu surat wasiat mengenai hibah, yang oleh pewaris tidak diperintahkan kepadanya dan pemalsuan ini disebut pemalsuan intelektual, Pejabat yang memalsukan suatu akta tidak dapat melakukannya dengan cara lain kecuali dengan tujuan jahat.
2.    Orang mengubah isi sesuatu akta setelah akta tersebut dibuat.
Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari suatu akta otentik menurut Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 165 RIB (Pasal 285 RDS) suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya, Akta otentik itu merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa sesuatu yang ditulis dalam akta harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan dan ia sudah tidak memerlukan suatu bukti lain, dalam arti sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian, ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna.
Akta otentik tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan sesuatu yang dituliskan, tetapi juga sesyatu yang diterangkan tadi adalah benar, Penafsiran yang demikian itu diambil dari Pasal 1871 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 165 RIB (Pasal 285 RDS), dimana disebutkan bahwa suatu akta otentik tidak hanya memberikan bukti yang sempurna tentang tentang sesuatu yang termuat didalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selainnya sekadar sesuatu yhang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta, dari pasal tersebut diambilah mengenai segala sesuatu yang menjadi pokok isi akta itu, yaitu segala sesuatu yang tegas dinyatakan oleh para penandatanganan akta.
Akta otentik tidak hanya mempunyai kukuatan pembuktian formal, yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan sesuatu yang ditulis dalam akta tersebut, tetapi juga mempunyai kekuatan pembuktian materiil, yaitu bahwa sesuatu yang diterangkan tadi adalah benar, inilah yang dinamakan kekuatan pembuktian mengikat, disimpulkan bahwa kekuatan pembuktian akta otentik, adalah sah sebagai berikut :
a.    Merupakan bukti sempurna/lengkap bagi para pihak, ahli waris dan orang-orang yang mendapatkan hak dari padanya, bukti sempurna /lengkap berarti bahwa kebenaran dari isi akta tersebut harus diakui, tanpa ditambah dengan pembuktian yang lain, sampai dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.
b.    Merupakan bukti bebas bagi pihak ketiga, bukti bebas artinya kebenaran dari isi akta diserahkan pada penilaian hakim, jika dibuktikan sebaliknya.
Dari kekuatan pembuktian di atas, dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap akta notaris mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu meliputi :
1.    Kekuatan pembuktian yang luar (uitwendige bewijskracht), ialah syarat-syarat formal yang diperlukan agar supaya akta notaries dapat berlaku sebagai akta otentik.
2.    Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), ialah kepastian bahwa suatu kejadian dan akta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangakan oleh pihak-pihak yang menghadap.
3.    Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht), ialah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs)
Adapun untuk lebih jelas dalam memahami kekuatan pembuktian akta otentik, penulis menambahkan pendapat th. Kussunaryatun, dimana ada tiga macam kekuatan pembuktian akta otentik yaitu :
a.    Kekuatan Bukti Formil, yaitu kebenaran dari peristiwa yang dinyatakan didalam akta dengan kata lain apakah pada tanggal tertentu benar-benar telah menerangkan sesuatu.
b.    Kekuatan Pembuktian Materiil, yaitu kebenaran dari isi akta dipandang dari segi yuridist, dengan kata lain apakah sesuatu yang diterangkan benar-benar terjadi.
c.     Kekuatan pembuktian lahir, yaitu syarat-syarat dari terbentuknya akat otentik sudah terpenuhi.
Akta-akta mengenai perjanjian/persetujuan berdasarkan kehendak dan permintaan para pihak, yang belum ada dan diatur dalam bentuk undang-undang, berfungsi sebagai penemuan hukum, bahkan perjanjian dan atau persetujuan itu berkedudukan atau mempunyai kekuatan yang sama dengan undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan dibuatnya akta otentik oleh pihak-pihak yang berkepentingan maka mereka memperoleh bukti tertulis dan kepastian hukum, yang berupa :
1.    Pihak yang berkepentingan oleh undang-undang dinyatakan mempunyai alat bukti yang lengakap/sempurna dan akta itulah telah membuktikan dirinya sendiri, dengan kata lain apabila didalam suatu perkara salah satu pihak mengajukan alat bukti berupa akta otentik, maka hakim dalam perkara itu tidak boleh memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk menambah alat bukti lain untuk menguatkan akta otentik tadi.
2.    Akta-akta notaris tertentu dapat dikeluarkan turunan yang istimewanya yaitu dalam bentuk grosse akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial, sebagaimana halnya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti untuk dijalankan.
Berdasarkan uraian dan penjelasan yang telah dikemukakan di atas, fungsi dan kedudukan dari akta notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan istimewa sebagai alat bukti, kekuatan pembuktian akta otentik demikian juga (termasuk didalamnya) akta notaris adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu dalam pemberian tugas inilah terletak tanda kepercayaan kepada pejabat dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang mereka buat, sebab apabila tidak demikian untuk apa menugaskan kepada mereka untuk “memberikan keterangan dari segala sesuatu yang mereka saksikan didalam menjalankan jabatan mereka atau untuk meretalir secara otentik segala sesuatu yang diterangkan oleh para penghadap kepada notaris, dengan permintaan agar keterangan-keterangan mereka dicantumkan dalam suatu akta dan menugaskan mereka untuk membuat akta mengenai itu”.

Selasa, 27 Maret 2012

LARANGAN PEMILIKAN TANAH ABSENTEE/GUNTAI
Oleh : M.Syukran Lubis., SH., CN., M.Kn

1.      Pengertian Tanah Pertanian Absentee/Guntai dan Pengaturannya.
Kata absentee berasal dari kata latin “absentee” atau “absentis”, yang berarti tidak hadir. Dalam kamus Bahasa Inggris karangan John M. Echlos dan Hasan Sadily, Absentee adalah yang tidak ada atau tidak hadir di tempatnya, atau landlord yaitu pemilik tanah bukan penduduk daerah itu, tuan tanah yang bertempat tinggal di lain tempat.
Pemilikan tanah pertanian secara absentee atau di dalam bahasa Sunda : “Guntai” yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar tempat tinggal yang empunya.
Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (telah diubah dan ditambah dengan PP No. 41 Tahun 1964) yang mengatur sebagai berikut : “ Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”. Menunjukkan bahwa pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai menurut Peraturan Perundang-undangan tidak diperbolehkan, karena pada prinsipnya melanggar asas dalam Pasal 10 UUPA yang mengatur bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

2.      Maksud dan Tujuan Diadakannya Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee/Guntai
Pada umumnya tanah-tanah pertanian letaknya adalah di desa, sedang mereka yang memiliki tanah secara absentee/guntai umumnya bertempat tinggal di kota. Orang yang tinggal di kota memiliki tanah pertanian di desa tentunya tidak sejalan dengan prinsip tanah pertanian untuk petani. Orang yang tinggal di kota sudah jelas bukan bukan termasuk kategori petani. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah pertanian sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, bukan dinikmati oleh orang kota yang tidak tinggal di desa.
Menurut Boedi Harsono, tujuan adanya larangan ini adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil.
Pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai ini, menimbulkan penggarapan yang tidak efisien, misalnya tentang penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan hasilnya, juga dapat menimbulkan sistem-sistem penghisapan. Ini berarti bahwa para petani penggarap tanah milik orang lain dengan sepenuh tenaganya, tanggung jawabnya dan segala resikonya, tetapi hanya menerima sebagian dari hasil yang dikelolanya. Di sisi lain, pemilik tanah yang berada jauh dari letak tanah dan tidak mengerjakan tanahnya tanpa menanggung segala resiko dan tanpa mengeluarkan keringatnya akan mendapatkan bagian lebih besar dari hasil tanahnya. Sehingga hal itu tidak sesuai dengan tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia yaitu untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah dan sebagai landasan atau persyaratan untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

3.      Dasar Hukum yang Mengatur Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee/Guntai
Tanah pertanian yaitu tanah selain untuk perumahan dan perusahaan yang menjadi hak seseorang yang meliputi sawah dan tanah kering. Sedangkan katagori tanah sawah adalah sawah beririgasi maupun sawah tadah hujan, sedangkan tanah kering adalah bukan sawah, tapi termasuk juga tambak, empang untuk perikanan, namun pada hakekatnya tidak kering.
Secara yuridis, dasar hukum mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai telah dituangkan dalam Pasal 3 PP No 224 Tahun 1961 dan PP No 41 Tahun 1964 (tambahan Pasal 3a s/d 3e). Kedua Peraturan Pemerintah ini merupakan aturan pelaksanaan dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal 10 UUPA, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sistem pemerasan yang dilakukan terhadap golongan ekonomi lemah.
Dalam Pasal 10 UUPA telah dikemukakan bahwa yang mempunyai tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, sehingga kemudian diadakanlah ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara apa yang disebut absentee/guntai yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar wilayah kecamatan tempat tinggal pemilik tanah.
Pada pokoknya dilarang memiliki tanah di luar kecamatan tempat letaknya tanahnya. Larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak tempat pemilik itu dan tanahnya, masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien.
Mengingat bahwa tujuan ketentuan Pasal 10 UUPA ini adalah menyangkut kepentingan umum, maka secara yuridis ketentuan dalam pasal ini termasuk ketentuan-ketentuan hukum yang memaksa atau “Dwingend Recht”.
Menurut ketentuan Pasal 3 PP No 224 Tahun 1961, disebutkan bahwa:
Ayat (1) Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan letak tempat tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut.
Ayat (2) Kewajiban dalam ayat (1) tidak berlaku bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal dan tanahnya masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien.
Ayat (3) Dengan tidak mengurangi ketentuan pada ayat (2) pasal ini, maka jika pemilik tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya ke luar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik atas
tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu.
Ayat (4) Ketentuan ayat (1) dan (3) tidak berlaku bagi mereka yang menjalankan tugas Negara, menunaikan kewajiban agama atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima Menteri Agraria. Bagi pegawai Negeri dan Pejabat Militer dan menjalankan tugas Negara, perkecualian tersebut pada ayat ini terbatas pada pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan menurut UU No. 56 Tahun 1960
Ayat (5) Jika kewajiban pada ayat (1) dan (3) tidak dipenuhi maka tanah yang bersangkutan diambil oleh Pemerintah.
Jangka waktu pemindahan hak milik atas tanah pertanian yang dimaksud dalam pasal tersebut perlu dibatasi agar pemilik tanah yang bersangkutan tidak mengulur-ulur waktu dalam usahanya untuk memindahkan hak miliknya tersebut.
Jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap larangan tersebut maka tanah yang bersangkutan akan diambil alih oleh Pemerintah untuk kemudahan diredistribusikan dalam rangka program landreform, dan kepada bekas pemilik diberikan ganti rugi menurut ketentuan yang berlaku. Pemberian ganti rugi ini diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP. 224 Tahun 1961.
Jadi siapapun dalam hubungan dengan masalah pemilikan tanah absentee/guntai harus tunduk kepada Peraturan Pemerintah tersebut. Selain daripada itu dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No 224 Tahun 1961 ditetapkan sanksi pidana kepada pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja menghalang-halangi pengambilan tanah oleh pemerintah dan pembagiannya.
Yang terjadi dalam praktik adalah bahwa ada sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Penguasaan tanah secara absentee/guntai ini pada umumnya diketahui oleh masyarakat sekitar.
Hal itu dapat terjadi melalui dua cara, yakni dengan cara memiliki KTP ganda yang memungkinkan seseorang menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee/guntai dan melalui upaya pemindahan hak terselubung yang dikenal dengan cara pemberian kuasa mutlak. Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (sebenarnya penjual) memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (sebenarnya pembeli) yang diberi wewenang untuk menguasai, menggunakan, dan melakukan segala perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek pemberian kuasa, sehingga pada hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas merupakan penyelundupan hukum, karena dimaksudkan untuk melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Gejala yang tampak adalah bahwa di satu pihak pemilik semula yang menggantungkan hidupnya pada produk pertanian justru terdepak dari tanahnya karena kebutuhan akan uang, dan di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan modal yang menginginkan penumpukan tanah sebagai sarana investasi. Maka yang terjadi adalah gejala menjadi buruh di atas tanah “miliknya” sendiri.

4.      Pengecualian Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee/Guntai
Pengecualian dari larangan pemilikan Tanah Absentee/Guntai yaitu :
a.       mereka yang menjalankan tugas Negara
b.      mereka yang sedang menunaikan kewajiban agama
c.       mereka yang mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh Menteri Agraria.
Pengecualian pemilikan tanah pertanian secara guntai sampai 2/5 dari luas maksimum untuk Daerah Tingkat II (sekarang Kabupaten/Kota) yang bersangkutan, diberikan kepada :
a.       Pensiunan Pegawai Negeri
b.      Janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.
Dengan adanya pengecualian tersebut seorang pegawai negeri dalam waktu 2 tahun menjelang pensiun diperbolehkan membeli tanah pertanian secara absentee sampai batas 2/5 luas maksimum untuk Daerah Kabupaten/Kota letak tanah yang bersangkutan. Di dalam pengecualian ini termasuk pula pemilikan oleh istri dan anak yang masih menjadi tanggungannya. Tetapi sewaktu-waktu seorang pegawai negeri atau yang dipersamakan dengan mereka berhenti menjalankan tugas Negara, misalnya mendapat pensiun, maka ia wajib memenuhi ketentuan tersebut dalam waktu satu tahun terhitung sejak mengakhiri tugasnya. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria jika ada alasan yang wajar.
Pengecualian bagi pensiunan pegawai negeri diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri. Yang mengatur bahwa ketentuan-ketentuan pengecualian mengenai pemilikan tanah pertanian yang berlaku bagi pegawai negeri diberlakukan juga bagi para pensiunan pegawai negeri.
Pemilikan tersebut boleh diteruskan setelah pensiun, sekiranya kemudian ia berpindah tempat tinggal ke kecamatan letak tanah yang bersangkutan, dengan sendirinya pemilikan tersebut dapat ditambah hingga seluas batas maksimum.

Senin, 20 Februari 2012

HUKUM PERJANJIAN/KONTRAK BISNIS
Oleh : M.Syukran Lubis, SH., CN., M.Kn.


Peristilahan

Istilah lain dari kata “Perjanjian” adalah : Kontrak, Persetujuan, Contract, Agreement.

Pengaturan Hukum Perjanjian
Mengenai Hukum Kontrak/ Perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) buku III tentang “PERIKATAN”.

Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Asas Kebebasan Berkontrak
Didalam hukum perjanjian dikenal salah satu asas yaitu Asas Kebebasan Berkontrak yaitu, Adanya kebebasan yang seluas-luasnya oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang memaksa, kepatutan/kesusilaan dan ketertiban umum.
Berlakunya asas kebebasan Berkontrak di jamin oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt yang menyatakan : “setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Syarat-Syarat Sah Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUHPdt syarat-syarat sah perjanjian adalah :
1.      sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.      kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3.      suatu hal tertentu;
4.      suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat-syarat subjektif. Apabila syarat pertama atau kedua tidak  dipenuhi maka Perjanjian dapat dibatalkan: Voidable / vernietigbaarheid.
Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat-syarat obyektif. Apabila syarat ketiga atau keempat tidak  dipenuhi maka Perjanjian batal demi hukum: Void/ nietig.

Ingkar Janji (Wanprestasi)
Wanprestasi adalah tidak melaksanakan atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah ditetapkan dan disepakati pihak-pihak dalam suatu perjanjian tersebut
Macam-macam  Wanprestasi
1.      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
2.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3.      Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
(Prof. Subekti, 1983 :45)
Akibat Hukum Bagi Debitur Yang Melakukan Wanprestasi
1.      Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita kreditur.
2.      Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian.
3.      Peralihan resiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi.
4.      Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim.

Penyusunan Kontrak
Penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, sebagai berikut :
1.      Judul;
2.      Pembukaan;
3.      Pihak-pihak;
4.      Latar belakang kesepakatan;
5.      Isi;
6.      Penutupan.











Senin, 13 Februari 2012

GADAI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Oleh : M. Syukran Lubis, SH.,CN.,M.Kn
 
  1. Pengertian Gadai
Pengertian gadai dalam kamus umum bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka adalah : “pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman”.[1]
Di dalam KUH Perdata Pasal 1150 mengatakan, gadai adalah :           
 Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan  yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang-barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Menurut Prof. R. Subekti, SH, dengan mengacu pada Pasal 1150 KUH Perdata, pandrecht adalah : “suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak  kepunyaan orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya”. [2]
Selain itu, Menurut Prof. Wiryono Prodjodikoro, SH, bahwa gadai    adalah : “sebagai suatu hak yang didapatkan si berpiutang atau orang lain atas namanya untuk menjamin pembayaran utang dan memberi hak kepada si berpiutang untuk dibayar lebih dahulu dari si berpiutang lain dari uang pendapatan penjualan barang itu”.[3]
Dari beberapa pengertian gadai di atas, maka ada beberapa unsur yang terkait dalam gadai yaitu :
a.       Penerima gadai atau pemegang gadai
b.      Memberi gadai atau menggadaikan
c.       Pihak yang menyerahkan benda gadai
Dengan demikian gadai merupakan pemberian berupa benda bergerak untuk dijadikan sebagai jaminan utang. Dalam hal ini berupa jaminan yang mudah dijadikan uang untuk dapat menutup pinjaman apabila tidak dapat dilunasi oleh si peminjam atau debitur.
Di negara-negara Eropa, Inggris dan Amerika, untuk pengertian gadai dipergunakan istilah “Pledge or pawn ; pand ”. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Pledge or pawn: pand” ialah lembaga jaminan seperti yang kita kenal dengan gadai di Indonesia. Semuanya tertuju pada benda bergerak.”[4]
Pledge adalah “merupakan suatu jaminan benda dengan cara penguasaan dan penyimpanan benda tersebut untuk kepentingan pembayaran suatu hutang atau tercapainya beberapa prestasi tertentu”. [5]
Selanjutnya dapat juga dikatakan bahwa gadai adalah suatu jaminan benda bergerak dengan menguasai bendanya bagi kreditur yang diserahkan oleh debitur.
Jaminan dengan menguasai bendanya pada gadai tertuju pada benda bergerak yang memberikan hak preferensi (droit de preference) dan hak yang senantiasa mengikuti bendanya (droit de suit). Pemegang gadai juga mendapat perlindungan terhadap pihak ketiga seolah-olah ia sebagai pemiliknya sendiri dari benda tersebut. Ia mendapat perlindungan jika menerima benda tersebut dengan itikad baik (te goeder trouw ; in good faith), yaitu mengira bahwa si debitur tersebut adalah pemilik yang sesungguhnya dari benda itu.
Di luar negeri yaitu di negara-negara Eropa, Inggris, Amerika dan Asia juga mengenal lembaga-lembaga jaminan dengan menguasai bendanya (possesory security) dan lembaga-lembaga jaminan dengan tanpa menguasai bendanya (non-possesory security). Jaminan dengan menguasai bendanya, umumnya juga berupa gadai (pledge) dan hak retensi (possesorry liens). Sedangkan yang tergolong lembaga jaminan tanpa menguasai bendanya umumnya terdiri atas mortgage, chattel mortgage, (ship mortgage dan aircraft mortgage), hire purchase (sewa beli), preferential rights (hak privilegi). Penggolongan dan jenis lembaga jaminan seperti tersebut di atas dikenal hampir di semua negara hanya dengan sedikit variasi di sana-sini.[6]

 2.  Objek Hak gadai
Sebelum menjelaskan mengenai objek jaminan gadai, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pembagian benda berdasarkan KUH Perdata.
Menurut ketentuan di dalam KUH Perdata, penggolongan benda dapat dibagi sebagai  berikut :
A.     Menurut Pasal 503 KUH Perdata benda itu dapat dibagi dalam :
A.1.      Benda yang berwujud, ialah segala sesuatu yang dapat diraba oleh panca indera, seperti : rumah, mobil, buku.
A.2.      Benda yang tak berwujud, ialah segala macam hak,  seperti : hak cipta, hak merek perdagangan.
B.     Menurut Pasal 504 KUH Perdata benda itu dapat juga dibagi atas :
B.1.      Benda bergerak, dapat dibagi menjadi :
B.1.1.     Benda bergerak menurut sifatnya ialah benda yang dapat dipindahkan (Pasal 509 KUH Perdata), seperti : kursi, meja, buku.
B.1.2       Benda bergerak menurut ketentuan undang-undang ialah        hak hak yang melekat atas benda bergerak (Pasal 511        KUH Perdata), seperti : hak memungut hasil atas benda bergerak, saham-saham perusahaan,  piutang-piutang.
B.2.      Benda tidak bergerak, dapat dibagi menjadi :
B.2.1.     Benda tidak bergerak menurut sifatnya ialah benda yang tidak dapat dipindah-pindahkan (Pasal 506 KUH Perdata), seperti : tanah dan segala yang melekat diatasnya, rumah, gedung, pepohonan.
B.2.2.     Benda tidak bergerak karena tujuannya ialah benda yang dilekatkan pada benda tidak bergerak sebagai benda pokok untuk tujuan tertentu (Pasal 507 KUH Perdata), seperti : mesin-mesin yang dipasang disuatu pabrik.
B.2.3.     Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang ialah hak-hak yang melekat atas benda tidak bergerak (Pasal 508 KUH Perdata), seperti : hipotik, hak memungut hasil atas  benda tidak bergerak.
Untuk masing-masing kelompok benda tersebut KUH Perdata telah memberikan lembaga jaminannya sendiri-sendiri, yaitu untuk barang bergerak di sebut dengan gadai, sedangkan untuk benda tetap disebut dengan hipotik.
Dalam Pasal 1150 jo. Pasal 1152 KUH Perdata menyatakan, yang  dapat dijadikan objek dari hak gadai ialah semua benda bergerak. Selanjutnya         Pasal 1167 KUH Perdata mempertegas lagi dengan menyatakan, bahwa barang-barang bergerak tidak dapat dihipotikkan.
            Konsekwensi pembagian benda seperti tersebut di atas dikemudian hari tidak diikuti secara konsekwen, karena kita pernah mengenal lembaga jaminan benda bergerak yang disebut oogstverband dan untuk benda tetap yang disebut credietverband. Bahkan, sekarang kita mengenal lembaga jaminan untuk persil berupa hak tanggungan dan fidusia untuk benda bergerak. [7]

Dengan adanya penyebutan secara khusus dan berturut-turut dalam     Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata tentang hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang atas bawa/tunjuk, dapat dikatakan bahwa gadai dapat diletakkan, baik atas barang-barang bergerak bertubuh (berwujud) maupun yang tidak bertubuh. Juga di dalam pasal 1158, Pasal 1152 bis, dan Pasal 1153  KUH Perdata dibicarakan tentang menggadaikan suatu tagihan.
3.      Terjadinya Hak Gadai
Hak Gadai terjadi dengan memperjanjikannya terlebih dahulu, hal ini berarti terjadinya hak gadai tersebut baru ada setelah proses perjanjian gadai dilaksanakan.
Di dalam perjanjian gadai,  ada asas-asas hukum perjanjian yang dipakai dan berlaku yaitu :
a.       Asas kebebasan membuat perjanjian
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak dalam perjanjian bebas menentukan hak dan kewajibannya. Asas ini disebut juga dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata). Asas kebebasan berkontrak ini tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.
b.      Asas Konsensualitas
Asas ini mempunyai arti bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak . Hal ini sesuai dengan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata)
c.       Asas Kepatutan/Itikad baik
Asas ini lebih mengutamakan kepatutan atau kesesuaian antara debitur dan kreditur untuk melakukan dan melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Hal ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
Selanjutnya untuk sahnya persetujuan pemberian gadai, maka haruslah memenuhi syarat-syarat sah suatu perjanjian yang di atur dalam Pasal 1320   KUH Perdata yaitu :
1.      Sepakat mereka yang membuat perjanjian.
2.      Cakap untuk membuat perjanjian.
3.      Mengenai suatu hal tertentu.
4.      Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yaitu yang pertama serta kedua dikatakan syarat subjektif, karena mengenai orang atau subjek yang mengadakan perjanjian sedangkan dua syarat yang ketiga serta keempat dikatakan syarat objektif karena mengenai isi perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang di lakukan itu.
ad. 1.   Sepakat mereka yang membuat perjanjian.
Hal ini dimaksudkan bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian, harus terlebih dahulu sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang akan diadakan itu.
Menurut Pasal 1321 KUH Perdata kata sepakat yang telah diberikan ini adalah menjadi tidak sah apabila kata sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau di perolehnya dengan paksaan atau penipuan.
ad. 2.   Cakap untuk membuat perjanjian.
Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.
Menurut Pasal 1330 KUH Perdata mereka yang dianggap tidak cakap membuat perjanjian adalah :
a.       Orang-orang  yang belum dewasa.
b.      Mereka yang ditaruh dibawah  pengampuan.
c.       Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
ad. 3.   Mengenai suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu maksudnya, objek yang diatur dalam perjanjian tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar.
ad. 4.   Suatu sebab yang halal.
Maksudnya, isi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang - undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan atau kesusilaan.
Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas suatu kewajiban prestasi tertentu, karenanya dikatakan bahwa perjanjian gadai mengabdi kepada perjanjian pokoknya atau dikatakan bahwa ia merupakan perjanjian yang  bersifat accessoir.
Perjanjian accessoir mempunyai ciri-ciri antara lain:
a.       tidak dapat berdiri sendiri,
b.      adanya/timbulnya maupun hapusnya bergantung pada perikatan pokoknya,
c.       apabila perikatan pokok dialihkan, accessoir turut beralih.
Konsekwensi perjanjian gadai sebagai perjanjian accessoir adalah :
a.       bahwa sekalipun perjanjian gadainya sendiri mungkin batal karena melanggar ketentuan gadai yang bersifat memaksa, tetapi perjanjian pokoknya sendiri            (perjanjian utang piutang /kredit ) tetap berlaku, kalau ia dibuat secara sah. Hanya saja tagihan tersebut sekarang berkedudukan sebagai tagihan konkuren belaka, kalau tidak ada dasar preferensi yang lain,
b.      hak gadainya sendiri tidak dapat dipindahkan tanpa turut sertanya (turut berpindahnya) perikatan pokoknya, tetapi peralihan perikatan pokok dapat meliputi accessoirnya, termasuk hak gadainya apabila ada diperjanjikan.
Di dalam mengadakan perjanjian gadai, harus ada perjanjian utang-piutang sebagai perjanjian pokok dan harus ada benda bergerak sebagai jaminan utang. Setelah kedua hal tersebut dipenuhi, lalu dibuat perjanjian gadai.
Dalam pelaksanaan gadai ada proses yang terdiri dari 2 (dua) fase, yaitu :
1.      Fase Pertama
Fase Pertama adalah perjanjian pinjam uang (kredit) dengan janji sanggup memberikan benda bergerak sebagai jaminan. Perjanjian ini bersifat konsensuil, obligatoir. Perjanjian ini merupakan awal dari perjanjian pemberian gadai.
2.      Fase Kedua
Fase Kedua adalah penyerahan benda gadai dalam kekuasan penerima gadai sesuai dengan benda gadai adalah benda bergerak, maka benda itu harus dilepaskan dari kekuasaan debitur atau pemberi gadai. Penyerahan itu harus nyata, tidak boleh hanya berdasarkan pernyataan dari debitur, sedangkan benda itu berada dalam kekuasaan debitur itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata.[8]

Dengan demikian hak gadai dianggap barulah terjadi dengan penyerahan kekuasaan (bezit ) atas benda yang dijadikan jaminan itu pada kreditur. Penyerahan kekuasaan ini dianggap sebagai syarat mutlak untuk terjadinya hak gadai.  

4.      Hak dan Kewajiban Pemegang gadai.
Di dalam perjanjian gadai (perjanjian pengakuan hutang dengan gadai barang) terdapat dua pihak yang  terlibat, yaitu pihak yang memberikan jaminan dan yang menerima jaminan. Pihak yang memberikan jaminan disebut dengan pemberi-gadai, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut dengan penerima-gadai.  
Kedua belah pihak, baik pemberi gadai maupun penerima gadai setelah perjanjian gadai disepakati, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban yang lain. Hak dan kewajiban ini harus dilaksanakan bagi masing-masing pihak agar tidak terjadi perselisihan yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak atau keduanya.
Hak adalah “kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum untuk berbuat apa saja asal tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, ketertiban umum dan kepatutan. Hak merupakan tuntutan sah agar orang lain bersikap dan berperilaku dengan cara tertentu”.[9]
Hak dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
1.      Hak mutlak, yaitu kewenangan atas kekuasaan mutlak yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. Pemegang hak mutlak dapat mempertahankannya terhadap siapapun juga.
2.      Hak relatif (nisbi), ialah hak yang memberikan kewenangan kepada seseorang atau beberapa orang untuk menuntut agar orang lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hak relatif biasanya timbul karena perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh para subjek hukum. Hak relatif hanya berlaku bagi orang tertentu saja.  
Sedangkan kewajiban adalah “beban yang diberikan oleh hukum kepada orang  ataupun badan hukum”.[10]
Menurut KUH Perdata disebutkan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemegang gadai yaitu :
a.       Hak Pemegang gadai
1.      Pemegang gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang gadai itu, apabila hal itu sudah menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau obligasi (Pasal 1155 KUH Perdata).
2.      Apabila pemberi gadai (si berutang) melakukan wanprestasi, maka pemegang gadai (si berpiutang) berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu,  dan kemudian mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang itu. Penjualan barang itu dapat dilakukan sendiri atau dapat juga meminta perantaraan hakim (Pasal 1156 ayat (1) KUH Perdata).
3.      Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti biaya–biaya yang telah ia keluarkan untuk menyelamatkan barang yang digadaikan itu (Pasal 1157                 ayat (2) KUH Perdata).
4.      Pemegang gadai berhak untuk menahan barang yang digadaikan sampai pada waktu utang dilunasi, baik mengenai jumlah pokok maupun bunga (Pasal 1159 ayat (1) KUH Perdata).
b.   Kewajiban Pemegang gadai
1.      Pemegang gadai wajib memberitahukan pada orang yang berutang apabila ia hendak menjual barang gadainya (Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata).
2.      Pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan, jika itu semua terjadi karena kelalaiannya      (Pasal 1157 ayat (1) KUHPerdata).
3.      Pemegang gadai  harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualan  itu, dan setelah ia mengambil pelunasan utangnya, maka ia harus menyerahkan kelebihannya pada si berutang (Pasal 1158 KUHPerdata).
4.      Pemegang gadai harus mengembalikan barang gadai kepada pemberi gadai, apabila utang pokok, bunga dan biaya untuk menyelamatkan barang gadai telah di bayar lunas (Pasal 1159 KUHPerdata).

  1. Hapusnya Gadai
Hak gadai akan hapus dalam hal-hal berikut ini :
a.       Dengan hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan gadai. Ini sesuai dengan sifat accessoir daripada gadai, sehingga nasibnya bergantung kepada perikatan pokoknya.
Perikatan pokok hapus antara lain karena :
1)       pelunasan
2)       kompensasi
3)       novasi
4)       penghapusan hutang
b.      Dengan terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan pemegang gadai.
Tetapi pemegang gadai masih mempunyai hak untuk menuntutnya kembali dan jika berhasil, maka undang-undang menganggap perjanjian gadai tersebut tidak pernah terputus (Pasal 1152 ayat (3) K.U.H.Perdata).
c.       Dengan hapus/ musnahnya benda jaminan.
d.      Dengan dilepasnya benda gadai secara suka rela.
e.       Dengan percampuran, yaitu dalam hal pemegang­-gadai menjadi pemilik barang gadai tersebut.
f.        Kalau ada penyalahgunaan benda gadai oleh pemegang-gadai (Pasal 1159 KUH Perdata). Sebenarnya undang-undang tidak mengatakan secara tegas mengenai hal ini. Hanya dalam Pasal 1159 KUH Perdata dikatakan, bahwa pemegang-gadai mempunyai hak retensi, kecuali kalau ia menyalahgunakan benda gadai, dalam hal mana secara a contrario dapat disimpulkan, bahwa pemberi-gadai berhak untuk menuntut kembali benda jaminan. Kalau      benda jaminan keluar dari kekuasaan pemegang-gadai, maka gadainya menjadi hapus.


[1] Balai Pustaka, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1997, hal 283
[2] Subekti,  Pokok-pokok  Hukum Perdata,   Intermasa,  Jakarta,  Cet. XXI,  1982,    ( selanjutnya  disingkat Subekti I) hal. 79.   
[3] Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-hak Atas Benda, Intermasa, Cet. V , Jakarta, 1986 hal 153.
[4] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,, Liberty, Yogyakarta, Cet I, 1980, hal 25.
[5] Hanna John et al, Op. Cit,   hal 1.
[6] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit, hal .57
[7] J. Satrio, Op.Cit, hal. 91-92.
[8] Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fiducia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991,  (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman I), hal 58
[9] J. B. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum : Buku Panduan Mahasiswa, Prenhallindo, Jakarta, 2001,     hal. 32
[10] Ibid, Hal 34.