LARANGAN PEMILIKAN
TANAH ABSENTEE/GUNTAI
Oleh : M.Syukran Lubis., SH., CN., M.Kn
1. Pengertian Tanah Pertanian Absentee/Guntai
dan Pengaturannya.
Kata absentee berasal dari kata latin “absentee”
atau “absentis”, yang berarti tidak hadir. Dalam kamus Bahasa Inggris
karangan John M. Echlos dan Hasan Sadily, Absentee adalah yang tidak ada
atau tidak hadir di tempatnya, atau landlord yaitu pemilik tanah bukan
penduduk daerah itu, tuan tanah yang bertempat tinggal di lain tempat.
Pemilikan tanah pertanian secara absentee atau
di dalam bahasa Sunda : “Guntai” yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar
tempat tinggal yang empunya.
Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP No 224 Tahun
1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (telah
diubah dan ditambah dengan PP No. 41 Tahun 1964) yang mengatur sebagai berikut
: “ Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak
tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada
orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak
tanah tersebut”. Menunjukkan bahwa pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai
menurut Peraturan Perundang-undangan tidak diperbolehkan, karena pada
prinsipnya melanggar asas dalam Pasal 10 UUPA yang mengatur bahwa setiap orang
dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan
mencegah cara-cara pemerasan.
2. Maksud dan Tujuan Diadakannya Larangan
Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee/Guntai
Pada umumnya tanah-tanah pertanian letaknya adalah
di desa, sedang mereka yang memiliki tanah secara absentee/guntai umumnya
bertempat tinggal di kota. Orang yang tinggal di kota memiliki tanah pertanian
di desa tentunya tidak sejalan dengan prinsip tanah pertanian untuk petani. Orang
yang tinggal di kota sudah jelas bukan bukan termasuk kategori petani. Tujuan melarang
pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai adalah agar hasil yang
diperoleh dari pengusahaan tanah pertanian sebagian besar dapat dinikmati oleh
masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, bukan dinikmati oleh orang kota
yang tidak tinggal di desa.
Menurut Boedi Harsono, tujuan adanya larangan ini
adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar
dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan,
karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil.
Pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai
ini, menimbulkan penggarapan yang tidak efisien, misalnya tentang
penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan hasilnya, juga dapat
menimbulkan sistem-sistem penghisapan. Ini berarti bahwa para petani penggarap
tanah milik orang lain dengan sepenuh tenaganya, tanggung jawabnya dan segala
resikonya, tetapi hanya menerima sebagian dari hasil yang dikelolanya. Di sisi
lain, pemilik tanah yang berada jauh dari letak tanah dan tidak mengerjakan
tanahnya tanpa menanggung segala resiko dan tanpa mengeluarkan keringatnya akan
mendapatkan bagian lebih besar dari hasil tanahnya. Sehingga hal itu tidak
sesuai dengan tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia yaitu untuk
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah dan
sebagai landasan atau persyaratan untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi
menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
3. Dasar Hukum yang Mengatur Larangan
Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee/Guntai
Tanah pertanian yaitu tanah selain untuk perumahan
dan perusahaan yang menjadi hak seseorang yang meliputi sawah dan tanah kering.
Sedangkan katagori tanah sawah adalah sawah beririgasi maupun sawah tadah
hujan, sedangkan tanah kering adalah bukan sawah, tapi termasuk juga tambak, empang
untuk perikanan, namun pada hakekatnya tidak kering.
Secara yuridis, dasar hukum mengenai larangan
pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai telah dituangkan dalam
Pasal 3 PP No 224 Tahun 1961 dan PP No 41 Tahun 1964 (tambahan Pasal 3a s/d 3e).
Kedua Peraturan Pemerintah ini merupakan aturan pelaksanaan dari ketentuan yang
tertuang dalam Pasal 10 UUPA, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sistem
pemerasan yang dilakukan terhadap golongan ekonomi lemah.
Dalam Pasal 10 UUPA telah dikemukakan bahwa yang
mempunyai tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara
aktif, sehingga kemudian diadakanlah ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah
pertanian secara apa yang disebut absentee/guntai yaitu pemilikan tanah yang
letaknya di luar wilayah kecamatan tempat tinggal pemilik tanah.
Pada pokoknya dilarang memiliki tanah di luar
kecamatan tempat letaknya tanahnya. Larangan tersebut tidak berlaku terhadap
pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan
tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak tempat pemilik itu dan
tanahnya, masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah tersebut secara
efisien.
Mengingat bahwa tujuan ketentuan Pasal 10 UUPA ini
adalah menyangkut kepentingan umum, maka secara yuridis ketentuan dalam pasal
ini termasuk ketentuan-ketentuan hukum yang memaksa atau “Dwingend Recht”.
Menurut ketentuan Pasal 3 PP No 224 Tahun 1961,
disebutkan bahwa:
Ayat (1)
Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan letak tempat
tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada
orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak
tanah tersebut.
Ayat (2)
Kewajiban dalam ayat (1) tidak berlaku bagi pemilik tanah yang bertempat
tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan letak tanah, jika jarak
antara tempat tinggal dan tanahnya masih memungkinkan mengerjakan tanah itu
secara efisien.
Ayat (3)
Dengan tidak mengurangi ketentuan pada ayat (2) pasal ini, maka jika pemilik
tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya ke luar kecamatan
tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, ia wajib memindahkan hak
milik atas
tanahnya
kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu.
Ayat (4)
Ketentuan ayat (1) dan (3) tidak berlaku bagi mereka yang menjalankan tugas
Negara, menunaikan kewajiban agama atau mempunyai alasan khusus lainnya yang
dapat diterima Menteri Agraria. Bagi pegawai Negeri dan Pejabat Militer dan
menjalankan tugas Negara, perkecualian tersebut pada ayat ini terbatas pada pemilikan
tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan untuk
daerah yang bersangkutan menurut UU No. 56 Tahun 1960
Ayat (5)
Jika kewajiban pada ayat (1) dan (3) tidak dipenuhi maka tanah yang
bersangkutan diambil oleh Pemerintah.
Jangka
waktu pemindahan hak milik atas tanah pertanian yang dimaksud dalam pasal
tersebut perlu dibatasi agar pemilik tanah yang bersangkutan tidak mengulur-ulur
waktu dalam usahanya untuk memindahkan hak miliknya tersebut.
Jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan atau
terjadi pelanggaran terhadap larangan tersebut maka tanah yang bersangkutan
akan diambil alih oleh Pemerintah untuk kemudahan diredistribusikan dalam
rangka program landreform, dan kepada bekas pemilik diberikan ganti rugi
menurut ketentuan yang berlaku. Pemberian ganti rugi ini diatur dalam Pasal 6
dan Pasal 7 PP. 224 Tahun 1961.
Jadi siapapun dalam hubungan dengan masalah
pemilikan tanah absentee/guntai harus tunduk kepada Peraturan Pemerintah
tersebut. Selain daripada itu dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No 224 Tahun
1961 ditetapkan sanksi pidana kepada pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja
menghalang-halangi pengambilan tanah oleh pemerintah dan pembagiannya.
Yang terjadi dalam praktik adalah bahwa ada
sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya sudah
tidak dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang
lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Penguasaan tanah
secara absentee/guntai ini pada umumnya diketahui oleh masyarakat
sekitar.
Hal itu dapat terjadi melalui dua cara, yakni
dengan cara memiliki KTP ganda yang memungkinkan seseorang menyelundupi
ketentuan tentang tanah absentee/guntai dan melalui upaya
pemindahan hak terselubung yang dikenal dengan cara pemberian kuasa mutlak.
Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (sebenarnya penjual) memberikan kuasa
yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (sebenarnya pembeli)
yang diberi wewenang untuk menguasai, menggunakan, dan melakukan segala
perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek pemberian kuasa,
sehingga pada hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal
ini jelas merupakan penyelundupan hukum, karena dimaksudkan untuk melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Gejala yang tampak adalah bahwa di satu pihak
pemilik semula yang menggantungkan hidupnya pada produk pertanian justru
terdepak dari tanahnya karena kebutuhan akan uang, dan di pihak lain ada orang
yang mempunyai kelebihan modal yang menginginkan penumpukan tanah sebagai
sarana investasi. Maka yang terjadi adalah gejala menjadi buruh di atas tanah “miliknya”
sendiri.
4. Pengecualian Larangan Pemilikan Tanah
Pertanian Secara Absentee/Guntai
Pengecualian dari larangan pemilikan Tanah Absentee/Guntai
yaitu :
a. mereka yang menjalankan tugas Negara
b. mereka yang sedang menunaikan kewajiban
agama
c. mereka yang mempunyai alasan khusus yang
dapat diterima oleh Menteri Agraria.
Pengecualian pemilikan tanah pertanian secara
guntai sampai 2/5 dari luas maksimum untuk Daerah Tingkat II (sekarang
Kabupaten/Kota) yang bersangkutan, diberikan kepada :
a. Pensiunan Pegawai Negeri
b. Janda pegawai negeri dan janda pensiunan
pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri
atau pensiunan pegawai negeri.
Dengan adanya pengecualian tersebut seorang
pegawai negeri dalam waktu 2 tahun menjelang pensiun diperbolehkan membeli
tanah pertanian secara absentee sampai batas 2/5 luas maksimum untuk
Daerah Kabupaten/Kota letak tanah yang bersangkutan. Di dalam pengecualian ini
termasuk pula pemilikan oleh istri dan anak yang masih menjadi tanggungannya. Tetapi
sewaktu-waktu seorang pegawai negeri atau yang dipersamakan dengan mereka
berhenti menjalankan tugas Negara, misalnya mendapat pensiun, maka ia wajib memenuhi
ketentuan tersebut dalam waktu satu tahun terhitung sejak mengakhiri tugasnya.
Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria jika ada alasan
yang wajar.
Pengecualian bagi pensiunan pegawai negeri diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian
Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri. Yang mengatur
bahwa ketentuan-ketentuan pengecualian mengenai pemilikan tanah pertanian yang berlaku
bagi pegawai negeri diberlakukan juga bagi para pensiunan pegawai negeri.
Pemilikan tersebut boleh diteruskan setelah
pensiun, sekiranya kemudian ia berpindah tempat tinggal ke kecamatan letak
tanah yang bersangkutan, dengan sendirinya pemilikan tersebut dapat ditambah
hingga seluas batas maksimum.