Total Tayangan Halaman

Selasa, 27 Maret 2012

LARANGAN PEMILIKAN TANAH ABSENTEE/GUNTAI
Oleh : M.Syukran Lubis., SH., CN., M.Kn

1.      Pengertian Tanah Pertanian Absentee/Guntai dan Pengaturannya.
Kata absentee berasal dari kata latin “absentee” atau “absentis”, yang berarti tidak hadir. Dalam kamus Bahasa Inggris karangan John M. Echlos dan Hasan Sadily, Absentee adalah yang tidak ada atau tidak hadir di tempatnya, atau landlord yaitu pemilik tanah bukan penduduk daerah itu, tuan tanah yang bertempat tinggal di lain tempat.
Pemilikan tanah pertanian secara absentee atau di dalam bahasa Sunda : “Guntai” yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar tempat tinggal yang empunya.
Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (telah diubah dan ditambah dengan PP No. 41 Tahun 1964) yang mengatur sebagai berikut : “ Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”. Menunjukkan bahwa pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai menurut Peraturan Perundang-undangan tidak diperbolehkan, karena pada prinsipnya melanggar asas dalam Pasal 10 UUPA yang mengatur bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

2.      Maksud dan Tujuan Diadakannya Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee/Guntai
Pada umumnya tanah-tanah pertanian letaknya adalah di desa, sedang mereka yang memiliki tanah secara absentee/guntai umumnya bertempat tinggal di kota. Orang yang tinggal di kota memiliki tanah pertanian di desa tentunya tidak sejalan dengan prinsip tanah pertanian untuk petani. Orang yang tinggal di kota sudah jelas bukan bukan termasuk kategori petani. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah pertanian sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, bukan dinikmati oleh orang kota yang tidak tinggal di desa.
Menurut Boedi Harsono, tujuan adanya larangan ini adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil.
Pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai ini, menimbulkan penggarapan yang tidak efisien, misalnya tentang penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan hasilnya, juga dapat menimbulkan sistem-sistem penghisapan. Ini berarti bahwa para petani penggarap tanah milik orang lain dengan sepenuh tenaganya, tanggung jawabnya dan segala resikonya, tetapi hanya menerima sebagian dari hasil yang dikelolanya. Di sisi lain, pemilik tanah yang berada jauh dari letak tanah dan tidak mengerjakan tanahnya tanpa menanggung segala resiko dan tanpa mengeluarkan keringatnya akan mendapatkan bagian lebih besar dari hasil tanahnya. Sehingga hal itu tidak sesuai dengan tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia yaitu untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah dan sebagai landasan atau persyaratan untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

3.      Dasar Hukum yang Mengatur Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee/Guntai
Tanah pertanian yaitu tanah selain untuk perumahan dan perusahaan yang menjadi hak seseorang yang meliputi sawah dan tanah kering. Sedangkan katagori tanah sawah adalah sawah beririgasi maupun sawah tadah hujan, sedangkan tanah kering adalah bukan sawah, tapi termasuk juga tambak, empang untuk perikanan, namun pada hakekatnya tidak kering.
Secara yuridis, dasar hukum mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai telah dituangkan dalam Pasal 3 PP No 224 Tahun 1961 dan PP No 41 Tahun 1964 (tambahan Pasal 3a s/d 3e). Kedua Peraturan Pemerintah ini merupakan aturan pelaksanaan dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal 10 UUPA, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sistem pemerasan yang dilakukan terhadap golongan ekonomi lemah.
Dalam Pasal 10 UUPA telah dikemukakan bahwa yang mempunyai tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, sehingga kemudian diadakanlah ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara apa yang disebut absentee/guntai yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar wilayah kecamatan tempat tinggal pemilik tanah.
Pada pokoknya dilarang memiliki tanah di luar kecamatan tempat letaknya tanahnya. Larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak tempat pemilik itu dan tanahnya, masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien.
Mengingat bahwa tujuan ketentuan Pasal 10 UUPA ini adalah menyangkut kepentingan umum, maka secara yuridis ketentuan dalam pasal ini termasuk ketentuan-ketentuan hukum yang memaksa atau “Dwingend Recht”.
Menurut ketentuan Pasal 3 PP No 224 Tahun 1961, disebutkan bahwa:
Ayat (1) Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan letak tempat tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut.
Ayat (2) Kewajiban dalam ayat (1) tidak berlaku bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal dan tanahnya masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien.
Ayat (3) Dengan tidak mengurangi ketentuan pada ayat (2) pasal ini, maka jika pemilik tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya ke luar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik atas
tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu.
Ayat (4) Ketentuan ayat (1) dan (3) tidak berlaku bagi mereka yang menjalankan tugas Negara, menunaikan kewajiban agama atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima Menteri Agraria. Bagi pegawai Negeri dan Pejabat Militer dan menjalankan tugas Negara, perkecualian tersebut pada ayat ini terbatas pada pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan menurut UU No. 56 Tahun 1960
Ayat (5) Jika kewajiban pada ayat (1) dan (3) tidak dipenuhi maka tanah yang bersangkutan diambil oleh Pemerintah.
Jangka waktu pemindahan hak milik atas tanah pertanian yang dimaksud dalam pasal tersebut perlu dibatasi agar pemilik tanah yang bersangkutan tidak mengulur-ulur waktu dalam usahanya untuk memindahkan hak miliknya tersebut.
Jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap larangan tersebut maka tanah yang bersangkutan akan diambil alih oleh Pemerintah untuk kemudahan diredistribusikan dalam rangka program landreform, dan kepada bekas pemilik diberikan ganti rugi menurut ketentuan yang berlaku. Pemberian ganti rugi ini diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP. 224 Tahun 1961.
Jadi siapapun dalam hubungan dengan masalah pemilikan tanah absentee/guntai harus tunduk kepada Peraturan Pemerintah tersebut. Selain daripada itu dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No 224 Tahun 1961 ditetapkan sanksi pidana kepada pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja menghalang-halangi pengambilan tanah oleh pemerintah dan pembagiannya.
Yang terjadi dalam praktik adalah bahwa ada sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Penguasaan tanah secara absentee/guntai ini pada umumnya diketahui oleh masyarakat sekitar.
Hal itu dapat terjadi melalui dua cara, yakni dengan cara memiliki KTP ganda yang memungkinkan seseorang menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee/guntai dan melalui upaya pemindahan hak terselubung yang dikenal dengan cara pemberian kuasa mutlak. Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (sebenarnya penjual) memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (sebenarnya pembeli) yang diberi wewenang untuk menguasai, menggunakan, dan melakukan segala perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek pemberian kuasa, sehingga pada hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas merupakan penyelundupan hukum, karena dimaksudkan untuk melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Gejala yang tampak adalah bahwa di satu pihak pemilik semula yang menggantungkan hidupnya pada produk pertanian justru terdepak dari tanahnya karena kebutuhan akan uang, dan di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan modal yang menginginkan penumpukan tanah sebagai sarana investasi. Maka yang terjadi adalah gejala menjadi buruh di atas tanah “miliknya” sendiri.

4.      Pengecualian Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee/Guntai
Pengecualian dari larangan pemilikan Tanah Absentee/Guntai yaitu :
a.       mereka yang menjalankan tugas Negara
b.      mereka yang sedang menunaikan kewajiban agama
c.       mereka yang mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh Menteri Agraria.
Pengecualian pemilikan tanah pertanian secara guntai sampai 2/5 dari luas maksimum untuk Daerah Tingkat II (sekarang Kabupaten/Kota) yang bersangkutan, diberikan kepada :
a.       Pensiunan Pegawai Negeri
b.      Janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.
Dengan adanya pengecualian tersebut seorang pegawai negeri dalam waktu 2 tahun menjelang pensiun diperbolehkan membeli tanah pertanian secara absentee sampai batas 2/5 luas maksimum untuk Daerah Kabupaten/Kota letak tanah yang bersangkutan. Di dalam pengecualian ini termasuk pula pemilikan oleh istri dan anak yang masih menjadi tanggungannya. Tetapi sewaktu-waktu seorang pegawai negeri atau yang dipersamakan dengan mereka berhenti menjalankan tugas Negara, misalnya mendapat pensiun, maka ia wajib memenuhi ketentuan tersebut dalam waktu satu tahun terhitung sejak mengakhiri tugasnya. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria jika ada alasan yang wajar.
Pengecualian bagi pensiunan pegawai negeri diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri. Yang mengatur bahwa ketentuan-ketentuan pengecualian mengenai pemilikan tanah pertanian yang berlaku bagi pegawai negeri diberlakukan juga bagi para pensiunan pegawai negeri.
Pemilikan tersebut boleh diteruskan setelah pensiun, sekiranya kemudian ia berpindah tempat tinggal ke kecamatan letak tanah yang bersangkutan, dengan sendirinya pemilikan tersebut dapat ditambah hingga seluas batas maksimum.

Senin, 20 Februari 2012

HUKUM PERJANJIAN/KONTRAK BISNIS
Oleh : M.Syukran Lubis, SH., CN., M.Kn.


Peristilahan

Istilah lain dari kata “Perjanjian” adalah : Kontrak, Persetujuan, Contract, Agreement.

Pengaturan Hukum Perjanjian
Mengenai Hukum Kontrak/ Perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) buku III tentang “PERIKATAN”.

Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Asas Kebebasan Berkontrak
Didalam hukum perjanjian dikenal salah satu asas yaitu Asas Kebebasan Berkontrak yaitu, Adanya kebebasan yang seluas-luasnya oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang memaksa, kepatutan/kesusilaan dan ketertiban umum.
Berlakunya asas kebebasan Berkontrak di jamin oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt yang menyatakan : “setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Syarat-Syarat Sah Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUHPdt syarat-syarat sah perjanjian adalah :
1.      sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.      kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3.      suatu hal tertentu;
4.      suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat-syarat subjektif. Apabila syarat pertama atau kedua tidak  dipenuhi maka Perjanjian dapat dibatalkan: Voidable / vernietigbaarheid.
Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat-syarat obyektif. Apabila syarat ketiga atau keempat tidak  dipenuhi maka Perjanjian batal demi hukum: Void/ nietig.

Ingkar Janji (Wanprestasi)
Wanprestasi adalah tidak melaksanakan atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah ditetapkan dan disepakati pihak-pihak dalam suatu perjanjian tersebut
Macam-macam  Wanprestasi
1.      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
2.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3.      Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
(Prof. Subekti, 1983 :45)
Akibat Hukum Bagi Debitur Yang Melakukan Wanprestasi
1.      Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita kreditur.
2.      Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian.
3.      Peralihan resiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi.
4.      Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim.

Penyusunan Kontrak
Penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, sebagai berikut :
1.      Judul;
2.      Pembukaan;
3.      Pihak-pihak;
4.      Latar belakang kesepakatan;
5.      Isi;
6.      Penutupan.











Senin, 13 Februari 2012

GADAI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Oleh : M. Syukran Lubis, SH.,CN.,M.Kn
 
  1. Pengertian Gadai
Pengertian gadai dalam kamus umum bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka adalah : “pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman”.[1]
Di dalam KUH Perdata Pasal 1150 mengatakan, gadai adalah :           
 Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan  yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang-barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Menurut Prof. R. Subekti, SH, dengan mengacu pada Pasal 1150 KUH Perdata, pandrecht adalah : “suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak  kepunyaan orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya”. [2]
Selain itu, Menurut Prof. Wiryono Prodjodikoro, SH, bahwa gadai    adalah : “sebagai suatu hak yang didapatkan si berpiutang atau orang lain atas namanya untuk menjamin pembayaran utang dan memberi hak kepada si berpiutang untuk dibayar lebih dahulu dari si berpiutang lain dari uang pendapatan penjualan barang itu”.[3]
Dari beberapa pengertian gadai di atas, maka ada beberapa unsur yang terkait dalam gadai yaitu :
a.       Penerima gadai atau pemegang gadai
b.      Memberi gadai atau menggadaikan
c.       Pihak yang menyerahkan benda gadai
Dengan demikian gadai merupakan pemberian berupa benda bergerak untuk dijadikan sebagai jaminan utang. Dalam hal ini berupa jaminan yang mudah dijadikan uang untuk dapat menutup pinjaman apabila tidak dapat dilunasi oleh si peminjam atau debitur.
Di negara-negara Eropa, Inggris dan Amerika, untuk pengertian gadai dipergunakan istilah “Pledge or pawn ; pand ”. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Pledge or pawn: pand” ialah lembaga jaminan seperti yang kita kenal dengan gadai di Indonesia. Semuanya tertuju pada benda bergerak.”[4]
Pledge adalah “merupakan suatu jaminan benda dengan cara penguasaan dan penyimpanan benda tersebut untuk kepentingan pembayaran suatu hutang atau tercapainya beberapa prestasi tertentu”. [5]
Selanjutnya dapat juga dikatakan bahwa gadai adalah suatu jaminan benda bergerak dengan menguasai bendanya bagi kreditur yang diserahkan oleh debitur.
Jaminan dengan menguasai bendanya pada gadai tertuju pada benda bergerak yang memberikan hak preferensi (droit de preference) dan hak yang senantiasa mengikuti bendanya (droit de suit). Pemegang gadai juga mendapat perlindungan terhadap pihak ketiga seolah-olah ia sebagai pemiliknya sendiri dari benda tersebut. Ia mendapat perlindungan jika menerima benda tersebut dengan itikad baik (te goeder trouw ; in good faith), yaitu mengira bahwa si debitur tersebut adalah pemilik yang sesungguhnya dari benda itu.
Di luar negeri yaitu di negara-negara Eropa, Inggris, Amerika dan Asia juga mengenal lembaga-lembaga jaminan dengan menguasai bendanya (possesory security) dan lembaga-lembaga jaminan dengan tanpa menguasai bendanya (non-possesory security). Jaminan dengan menguasai bendanya, umumnya juga berupa gadai (pledge) dan hak retensi (possesorry liens). Sedangkan yang tergolong lembaga jaminan tanpa menguasai bendanya umumnya terdiri atas mortgage, chattel mortgage, (ship mortgage dan aircraft mortgage), hire purchase (sewa beli), preferential rights (hak privilegi). Penggolongan dan jenis lembaga jaminan seperti tersebut di atas dikenal hampir di semua negara hanya dengan sedikit variasi di sana-sini.[6]

 2.  Objek Hak gadai
Sebelum menjelaskan mengenai objek jaminan gadai, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pembagian benda berdasarkan KUH Perdata.
Menurut ketentuan di dalam KUH Perdata, penggolongan benda dapat dibagi sebagai  berikut :
A.     Menurut Pasal 503 KUH Perdata benda itu dapat dibagi dalam :
A.1.      Benda yang berwujud, ialah segala sesuatu yang dapat diraba oleh panca indera, seperti : rumah, mobil, buku.
A.2.      Benda yang tak berwujud, ialah segala macam hak,  seperti : hak cipta, hak merek perdagangan.
B.     Menurut Pasal 504 KUH Perdata benda itu dapat juga dibagi atas :
B.1.      Benda bergerak, dapat dibagi menjadi :
B.1.1.     Benda bergerak menurut sifatnya ialah benda yang dapat dipindahkan (Pasal 509 KUH Perdata), seperti : kursi, meja, buku.
B.1.2       Benda bergerak menurut ketentuan undang-undang ialah        hak hak yang melekat atas benda bergerak (Pasal 511        KUH Perdata), seperti : hak memungut hasil atas benda bergerak, saham-saham perusahaan,  piutang-piutang.
B.2.      Benda tidak bergerak, dapat dibagi menjadi :
B.2.1.     Benda tidak bergerak menurut sifatnya ialah benda yang tidak dapat dipindah-pindahkan (Pasal 506 KUH Perdata), seperti : tanah dan segala yang melekat diatasnya, rumah, gedung, pepohonan.
B.2.2.     Benda tidak bergerak karena tujuannya ialah benda yang dilekatkan pada benda tidak bergerak sebagai benda pokok untuk tujuan tertentu (Pasal 507 KUH Perdata), seperti : mesin-mesin yang dipasang disuatu pabrik.
B.2.3.     Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang ialah hak-hak yang melekat atas benda tidak bergerak (Pasal 508 KUH Perdata), seperti : hipotik, hak memungut hasil atas  benda tidak bergerak.
Untuk masing-masing kelompok benda tersebut KUH Perdata telah memberikan lembaga jaminannya sendiri-sendiri, yaitu untuk barang bergerak di sebut dengan gadai, sedangkan untuk benda tetap disebut dengan hipotik.
Dalam Pasal 1150 jo. Pasal 1152 KUH Perdata menyatakan, yang  dapat dijadikan objek dari hak gadai ialah semua benda bergerak. Selanjutnya         Pasal 1167 KUH Perdata mempertegas lagi dengan menyatakan, bahwa barang-barang bergerak tidak dapat dihipotikkan.
            Konsekwensi pembagian benda seperti tersebut di atas dikemudian hari tidak diikuti secara konsekwen, karena kita pernah mengenal lembaga jaminan benda bergerak yang disebut oogstverband dan untuk benda tetap yang disebut credietverband. Bahkan, sekarang kita mengenal lembaga jaminan untuk persil berupa hak tanggungan dan fidusia untuk benda bergerak. [7]

Dengan adanya penyebutan secara khusus dan berturut-turut dalam     Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata tentang hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang atas bawa/tunjuk, dapat dikatakan bahwa gadai dapat diletakkan, baik atas barang-barang bergerak bertubuh (berwujud) maupun yang tidak bertubuh. Juga di dalam pasal 1158, Pasal 1152 bis, dan Pasal 1153  KUH Perdata dibicarakan tentang menggadaikan suatu tagihan.
3.      Terjadinya Hak Gadai
Hak Gadai terjadi dengan memperjanjikannya terlebih dahulu, hal ini berarti terjadinya hak gadai tersebut baru ada setelah proses perjanjian gadai dilaksanakan.
Di dalam perjanjian gadai,  ada asas-asas hukum perjanjian yang dipakai dan berlaku yaitu :
a.       Asas kebebasan membuat perjanjian
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak dalam perjanjian bebas menentukan hak dan kewajibannya. Asas ini disebut juga dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata). Asas kebebasan berkontrak ini tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.
b.      Asas Konsensualitas
Asas ini mempunyai arti bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak . Hal ini sesuai dengan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata)
c.       Asas Kepatutan/Itikad baik
Asas ini lebih mengutamakan kepatutan atau kesesuaian antara debitur dan kreditur untuk melakukan dan melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Hal ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
Selanjutnya untuk sahnya persetujuan pemberian gadai, maka haruslah memenuhi syarat-syarat sah suatu perjanjian yang di atur dalam Pasal 1320   KUH Perdata yaitu :
1.      Sepakat mereka yang membuat perjanjian.
2.      Cakap untuk membuat perjanjian.
3.      Mengenai suatu hal tertentu.
4.      Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yaitu yang pertama serta kedua dikatakan syarat subjektif, karena mengenai orang atau subjek yang mengadakan perjanjian sedangkan dua syarat yang ketiga serta keempat dikatakan syarat objektif karena mengenai isi perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang di lakukan itu.
ad. 1.   Sepakat mereka yang membuat perjanjian.
Hal ini dimaksudkan bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian, harus terlebih dahulu sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang akan diadakan itu.
Menurut Pasal 1321 KUH Perdata kata sepakat yang telah diberikan ini adalah menjadi tidak sah apabila kata sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau di perolehnya dengan paksaan atau penipuan.
ad. 2.   Cakap untuk membuat perjanjian.
Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.
Menurut Pasal 1330 KUH Perdata mereka yang dianggap tidak cakap membuat perjanjian adalah :
a.       Orang-orang  yang belum dewasa.
b.      Mereka yang ditaruh dibawah  pengampuan.
c.       Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
ad. 3.   Mengenai suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu maksudnya, objek yang diatur dalam perjanjian tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar.
ad. 4.   Suatu sebab yang halal.
Maksudnya, isi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang - undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan atau kesusilaan.
Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas suatu kewajiban prestasi tertentu, karenanya dikatakan bahwa perjanjian gadai mengabdi kepada perjanjian pokoknya atau dikatakan bahwa ia merupakan perjanjian yang  bersifat accessoir.
Perjanjian accessoir mempunyai ciri-ciri antara lain:
a.       tidak dapat berdiri sendiri,
b.      adanya/timbulnya maupun hapusnya bergantung pada perikatan pokoknya,
c.       apabila perikatan pokok dialihkan, accessoir turut beralih.
Konsekwensi perjanjian gadai sebagai perjanjian accessoir adalah :
a.       bahwa sekalipun perjanjian gadainya sendiri mungkin batal karena melanggar ketentuan gadai yang bersifat memaksa, tetapi perjanjian pokoknya sendiri            (perjanjian utang piutang /kredit ) tetap berlaku, kalau ia dibuat secara sah. Hanya saja tagihan tersebut sekarang berkedudukan sebagai tagihan konkuren belaka, kalau tidak ada dasar preferensi yang lain,
b.      hak gadainya sendiri tidak dapat dipindahkan tanpa turut sertanya (turut berpindahnya) perikatan pokoknya, tetapi peralihan perikatan pokok dapat meliputi accessoirnya, termasuk hak gadainya apabila ada diperjanjikan.
Di dalam mengadakan perjanjian gadai, harus ada perjanjian utang-piutang sebagai perjanjian pokok dan harus ada benda bergerak sebagai jaminan utang. Setelah kedua hal tersebut dipenuhi, lalu dibuat perjanjian gadai.
Dalam pelaksanaan gadai ada proses yang terdiri dari 2 (dua) fase, yaitu :
1.      Fase Pertama
Fase Pertama adalah perjanjian pinjam uang (kredit) dengan janji sanggup memberikan benda bergerak sebagai jaminan. Perjanjian ini bersifat konsensuil, obligatoir. Perjanjian ini merupakan awal dari perjanjian pemberian gadai.
2.      Fase Kedua
Fase Kedua adalah penyerahan benda gadai dalam kekuasan penerima gadai sesuai dengan benda gadai adalah benda bergerak, maka benda itu harus dilepaskan dari kekuasaan debitur atau pemberi gadai. Penyerahan itu harus nyata, tidak boleh hanya berdasarkan pernyataan dari debitur, sedangkan benda itu berada dalam kekuasaan debitur itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata.[8]

Dengan demikian hak gadai dianggap barulah terjadi dengan penyerahan kekuasaan (bezit ) atas benda yang dijadikan jaminan itu pada kreditur. Penyerahan kekuasaan ini dianggap sebagai syarat mutlak untuk terjadinya hak gadai.  

4.      Hak dan Kewajiban Pemegang gadai.
Di dalam perjanjian gadai (perjanjian pengakuan hutang dengan gadai barang) terdapat dua pihak yang  terlibat, yaitu pihak yang memberikan jaminan dan yang menerima jaminan. Pihak yang memberikan jaminan disebut dengan pemberi-gadai, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut dengan penerima-gadai.  
Kedua belah pihak, baik pemberi gadai maupun penerima gadai setelah perjanjian gadai disepakati, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban yang lain. Hak dan kewajiban ini harus dilaksanakan bagi masing-masing pihak agar tidak terjadi perselisihan yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak atau keduanya.
Hak adalah “kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum untuk berbuat apa saja asal tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, ketertiban umum dan kepatutan. Hak merupakan tuntutan sah agar orang lain bersikap dan berperilaku dengan cara tertentu”.[9]
Hak dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
1.      Hak mutlak, yaitu kewenangan atas kekuasaan mutlak yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. Pemegang hak mutlak dapat mempertahankannya terhadap siapapun juga.
2.      Hak relatif (nisbi), ialah hak yang memberikan kewenangan kepada seseorang atau beberapa orang untuk menuntut agar orang lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hak relatif biasanya timbul karena perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh para subjek hukum. Hak relatif hanya berlaku bagi orang tertentu saja.  
Sedangkan kewajiban adalah “beban yang diberikan oleh hukum kepada orang  ataupun badan hukum”.[10]
Menurut KUH Perdata disebutkan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemegang gadai yaitu :
a.       Hak Pemegang gadai
1.      Pemegang gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang gadai itu, apabila hal itu sudah menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau obligasi (Pasal 1155 KUH Perdata).
2.      Apabila pemberi gadai (si berutang) melakukan wanprestasi, maka pemegang gadai (si berpiutang) berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu,  dan kemudian mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang itu. Penjualan barang itu dapat dilakukan sendiri atau dapat juga meminta perantaraan hakim (Pasal 1156 ayat (1) KUH Perdata).
3.      Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti biaya–biaya yang telah ia keluarkan untuk menyelamatkan barang yang digadaikan itu (Pasal 1157                 ayat (2) KUH Perdata).
4.      Pemegang gadai berhak untuk menahan barang yang digadaikan sampai pada waktu utang dilunasi, baik mengenai jumlah pokok maupun bunga (Pasal 1159 ayat (1) KUH Perdata).
b.   Kewajiban Pemegang gadai
1.      Pemegang gadai wajib memberitahukan pada orang yang berutang apabila ia hendak menjual barang gadainya (Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata).
2.      Pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan, jika itu semua terjadi karena kelalaiannya      (Pasal 1157 ayat (1) KUHPerdata).
3.      Pemegang gadai  harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualan  itu, dan setelah ia mengambil pelunasan utangnya, maka ia harus menyerahkan kelebihannya pada si berutang (Pasal 1158 KUHPerdata).
4.      Pemegang gadai harus mengembalikan barang gadai kepada pemberi gadai, apabila utang pokok, bunga dan biaya untuk menyelamatkan barang gadai telah di bayar lunas (Pasal 1159 KUHPerdata).

  1. Hapusnya Gadai
Hak gadai akan hapus dalam hal-hal berikut ini :
a.       Dengan hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan gadai. Ini sesuai dengan sifat accessoir daripada gadai, sehingga nasibnya bergantung kepada perikatan pokoknya.
Perikatan pokok hapus antara lain karena :
1)       pelunasan
2)       kompensasi
3)       novasi
4)       penghapusan hutang
b.      Dengan terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan pemegang gadai.
Tetapi pemegang gadai masih mempunyai hak untuk menuntutnya kembali dan jika berhasil, maka undang-undang menganggap perjanjian gadai tersebut tidak pernah terputus (Pasal 1152 ayat (3) K.U.H.Perdata).
c.       Dengan hapus/ musnahnya benda jaminan.
d.      Dengan dilepasnya benda gadai secara suka rela.
e.       Dengan percampuran, yaitu dalam hal pemegang­-gadai menjadi pemilik barang gadai tersebut.
f.        Kalau ada penyalahgunaan benda gadai oleh pemegang-gadai (Pasal 1159 KUH Perdata). Sebenarnya undang-undang tidak mengatakan secara tegas mengenai hal ini. Hanya dalam Pasal 1159 KUH Perdata dikatakan, bahwa pemegang-gadai mempunyai hak retensi, kecuali kalau ia menyalahgunakan benda gadai, dalam hal mana secara a contrario dapat disimpulkan, bahwa pemberi-gadai berhak untuk menuntut kembali benda jaminan. Kalau      benda jaminan keluar dari kekuasaan pemegang-gadai, maka gadainya menjadi hapus.


[1] Balai Pustaka, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1997, hal 283
[2] Subekti,  Pokok-pokok  Hukum Perdata,   Intermasa,  Jakarta,  Cet. XXI,  1982,    ( selanjutnya  disingkat Subekti I) hal. 79.   
[3] Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-hak Atas Benda, Intermasa, Cet. V , Jakarta, 1986 hal 153.
[4] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,, Liberty, Yogyakarta, Cet I, 1980, hal 25.
[5] Hanna John et al, Op. Cit,   hal 1.
[6] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit, hal .57
[7] J. Satrio, Op.Cit, hal. 91-92.
[8] Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fiducia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991,  (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman I), hal 58
[9] J. B. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum : Buku Panduan Mahasiswa, Prenhallindo, Jakarta, 2001,     hal. 32
[10] Ibid, Hal 34.
SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN ( SKMHT )
Oleh : M. Syukran Lubis, SH.,CN.,M.Kn

Pada asasnya pemberian Hak Tanggungan wajib dihadiri dan dilakukan sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan sebagai pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum membebankan Hak Tanggungan atas obyek yang dijadikan jaminan. Namun apabila benar-benar diperlukan dan berhalangan, maka kehadirannya untuk memberikan Hak Tanggungan dan menandatangani APHT-nya dapat dikuasakan kepada pihak lain.
Ada 2 ( dua ) alasan penggunaan dan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan   yaitu :
1).  Alasan Subjektif, antara lain :
  1. pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan notaris / PPAT untuk membuat akta Hak Tanggungan ;
  2. prosedur pembebanan Hak Tanggungan panjang / lama ;
  3. biaya penggunaan Hak Tanggungan cukup tinggi ;
  4. kredit yang diberikan jangka pendek ;
  5. kredit yang diberikan tidak besar / kecil ;
  6. debitor sangat dipercaya / bonafid.
2).  Alasan Objektif, antara lain :
  1. Sertifikat belum diterbitkan ;
  2. balik nama atas tanah Pemberi Hak Tanggungan belum dilakukan ;
  3. pemecahan / penggabungan tanah belum selesai dilakukan atas nama Pemberi Hak Tanggungan ;
  4. roya / pencoretan belum dilakukan.
Pemberian kuasa wajib dilakukan di hadapan seorang notaris atau PPAT, dengan suatu akta otentik yang disebut Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ( SKMHT ). Bentuk dan isi SKMHT ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1996. Formulirnya disediakan oleh BPN melalui kantor pos ( Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1996 ).
SKMHT dibuat oleh notaris atau PPAT yang bersangkutan dalam dua ganda. Semuanya asli ( “in originali” ), ditandatangani oleh pemberi kuasa, penerima kuasa, 2 orang saksi dan notaris atau PPAT yang membuatnya. Selembar disimpan di kantor notaris atau PPAT yang bersangkutan. Lembar lainnya diberikan kepada penerima kuasa untuk keperluan pemberian HT dan penggunaan APHT-nya. Dalam penggunaan SKMHT tidak ada minut dan tidak juga dibuat “grosse” sebagai salinannya. PPAT wajib menolak membuat APHT berdasarkan surat kuasa yang bukan SKMHT “in originali”, yang formulirnya disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional dan bentuk serta isinya ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1996 memuat larangan dan persyaratan bagi sahnya SKMHT sebagai berikut :
1.       dilarang SKMHT memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lainnya daripada membebankan Hak Tanggungan. Tidak dilarang pemberi kuasa memberikan janji-janji yang dimaksudkan dalam Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1996.
2.       dilarang memuat kuasa substitusi. “Substitusi” adalah penggantian penerima kuasa melalui peralihan, hingga ada penerima kuasa baru.
3.       Wajib dicantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang, nama serta identitas kreditornya, nama serta identitas debitor, apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
4.       Apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar larangan-larangan di atas, SKMHT yang bersangkutan menjadi batal demi hukum.
           Kuasa untuk memberikan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali dan tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga, juga jika Pemberi Hak Tanggungan meninggal dunia. Kuasa tersebut berakhir setelah dilaksanakan atau telah habis jangka waktunya. Hal tersebut diatur oleh undang-undang dalam rangka melindungi kepentingan kreditor sebagai pihak yang umumnya diberi kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan yang dijanjikan.
           Mengenai batas waktu penggunaan SKMHT diatur dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 4 Tahun 1996. Apabila yang dijadikan obyek Hak Tanggungan hak atas tanah yang sudah didaftar, dalam waktu selambat-lambatnya satu bulan sesudah diberikan, wajib diikuti dengan penggunaan APHT yang bersangkutan. Sedangkan apabila yang dijadikan jaminan hak atas tanah yang belum didaftar, jangka waktu penggunaannya dibatasi tiga bulan. Batas waktu tiga bulan berlaku juga bilamana hak atas tanah yang bersangkutan sudah bersertifikat, tetapi belum tercatat atas nama Pemberi Hak Tanggungan sebagai pemegang haknya yang baru.

Jumat, 10 Februari 2012


HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA
Oleh : M.Syukran Lubis, SH.,CN.,M.Kn




Pengertian Hak Atas Tanah
       Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat  atas tanah tersebut.  
Hak atas tanah berisi :
  1. 1.WEWENANG : Menggunakan Tanah Dan Tubuh Bumi, Air, Ruang Angkasa Sepanjang Untuk Kepentingan Penggunaan Hak
  2. 2.LARANGAN : Penggunaan Wewenang Tidak Boleh Merugikan Pihak Lain, Pembatasan Wewenang Yang Terletak Pada Sifat Haknya. Misal : HGB Tidak Boleh Untuk Pertanian
  3. 3.KEWAJIBAN : Mempergunakan Tanah Sesuai Dengan Keadaannya, Sifat Dan Tujuan Pemberian Haknya, , Memelihara Tanah, , Mengusahakan Sendiri Tanah Pertanian Secara Aktif
Macam-macam Hak atas tanah Menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA (UU Pokok Agraria)
Menurut Pasal 16 ayat (1) UUPA Hak-hak atas tanah terdiri dari :
  1. a.hak milik
  2. b.hak guna-usaha
  3. c.hak guna-bangunan
  4. d.hak pakai
  5. e.hak sewa
  6. f.hak membuka tanah
  7. g.hak memungut-hasil hutan
  8. h.hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.                         
 
 
 
 
PENGADAAN TANAH BAGI KEPENTINGAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Oleh : M. Syukran Lubis., SH., CN., M.Kn.

1. Pengertian Pengadaan Tanah
       Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres No.55/1993 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian. Dan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.36/2005 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.36/2005 dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dan pencabutan hak atas tanah. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.65/2006, yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.65/2006 selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak.
2. Pengertian Kepentingan Umum
       Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada batasannya.
      Kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara.
UUPA dan UU No. 20 Tahun 1961 mengatakan kepentingan umum dinyatakan dalam arti peruntukannya, yaitu untuk kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan tersebut harus memenuhi peruntukkannya dan harus dirasakan kemanfaatannya, dalam arti dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan atau secara langsung.

3. Dasar Hukum Pengaturan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
       Sebelum berlakunya Keppres No.55/Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, maka landasan yuridis yang digunakan dalam pengadaan tanah adalah:
  1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15/1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
  2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2/1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta.
  3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2/1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan Di Wilayah Kecamatan. ketiga peraturan di atas dicabut dengan:
  4. Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Keppres ini juga telah dicabut.
  5. Perpres No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Perpres ini mencabut Keppres No.55/1993.
  6. Perpres No.65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Perpres ini mencabut Perpres No.36/2005.

4. Perpres No.65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

a. Pengertian Kepentingan Umum
       Perpres No.65/2006 tidak melakukan perubahan mengenai pengertian kepentingan umum yang ada di dalam Perpres No.36/2005.
       Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden No.36/2005, yang dimaksud dengan adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya dalam Keppres nomor 55/1993 yang mengatur tentang kepentingan untuk seluruh
lapisan masyarakat.

b. Jenis-jenis Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
       Di dalam Pasal 5 Perpres No.65/2006 dinyatakan bahwa: “Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi:
  1. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi
  2. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
  3. pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta pi, dan terminal;
  4. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
  5. tempat pembuangan sampah;
  6. cagar alam dan cagar budaya;
  7. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.”

c. Jenis-jenis dan Bentuk Ganti Kerugian
           Menurut Pasal 13 Perpres No.65/2006, bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan umum adalah:
  1. uang
  2. tanah pengganti;
  3. pemukiman kembali;
  4. gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksdu dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
  5. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
c. Panitia Pengadaan Tanah
       Dalam Pasal 6 ayat (5) Perpres No.65/2006, mengenai panitia pengadaan tanah, dinyatakan bahwa:
  1. “Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.
  2. Panitia pengadaan tanah propinsi daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.
  3. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah propinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
  4. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah propinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur Pemerintah Daerah terkait.
  5. Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah terkait dan unsur Badan Pertanahan Nasional.”
d. Tugas Panitia Pengadaan Tanah
       Dalam Pasal 7 Perpres No.65/2006, dinyatakan: “Panitia pengadaan tanah bertugas :
  1. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan
  2. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya
  3. Menetapkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan
  4. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut
  5. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
  6. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah
  7. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
  8. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.”
e. Prosedur/Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
      Dengan berlakunya Perpres No.65/2006, maka ada perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Menurut Pasal 2 Perpres No.65/2006 menyatakan bahwa:
  1. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
  2. Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
       Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Perpres No.65/2006, bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dalam hal ini dilakukan oleh pihak swasta, maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
       Sebelum diterbitkan peraturan pelaksanaan dari Perpres No.65/2006, maka tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum masih berlaku berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.1/1994 tentang ketentuan pelaksanaan Keppres No.55/1993.