Total Tayangan Halaman

Minggu, 02 Juni 2013

NEGARA HUKUM


Cita negara hukum untuk pertama kali dikemukakan oleh Plato, (Athena 429 SM) sedikitnya ada tiga karya yang sangat relevan dengan masalah kenegaraan yaitu : Politeia (the republica) adalah buku pertama yang ditulis dengan melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh orang yang haus akan harta, kekuasaan dan gila hormat; Politicos (the statemen) buku kedua ini beranggapan perlu adanya hukum untuk mengatur warga Negara saja dan tidak harus berlaku bagi penguasa karena penguasa memiliki pengetahuan tentang hal itu dan dapat membuat hukum; Nomoi (the law) buku ketiga ini Plato memberikan perhatian dan arti yang lebih tinggi pada hukum, penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Ide tersebut dilanjutkan oleh Aristoteles dengan karyanya Politica, disamping membahas masalah kenegaraan juga meneliti dan memperbandingkan konstitusi dari negara-negara Yunani. Menurut Azhary bahwa Aristoteles dapat dianggap sebagai peletak batu pertama Ilmu Perbandingan Hukum Tata Negara mengatakan bahwa suatu negara yang baik ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Konsep tentang hukum sebagai cermin tata keadilan telah dikembangkan oleh para pemikir Yunani terutama Plato dan Aristoteles. Dalam pandangannya Plato menyatakan bahwa keadilan akan terwujud jika Negara ditata sesuai dengan bentuk ideal sebagaimana ditetapkan oleh raja yang sekaligus filosuf dan dihubungkan dengan hukum yang berlaku dalam sebuah “polis”. Hukum adalah refleksi pengetahuan manusia pada umumnya yang dikembangkan secara sempurna. Bagi Plato, hukum identik dengan jalan pikiran yang nalar yang diwujudkan dalam dekrit yang dikeluarkan oleh negara. Hukum memiliki kualitas tidak tertulis dan alamiah sebagaimana terdapat di dalam kodrat manusia. Hukum juga dipandang identik dengan moralitas dan tujuan hukum adalah menghasilkan manusia yang benar-benar baik. Menurut Plato, hukum diberlakukan dengan maksud untuk membantu manusia menciptakan kesatuan dalam hidup komunitas atau ketertiban sosial,
atau kebaikan umum.
Seperti Plato, gagasan Aristoteles tentang hukum tidak tersusun secara sistematis, melainkan tersebar di berbagai tulisannya. Aristoteles membedakan antara konsep tentang hukum dari konsep tentang konstitusi. Hukum berhubungan dengan organisasi antar lembaga dalam sebuah Negara, sedangkan konstitusi berhubungan dengan hal-hal yang harus dikerjakan oleh masing-masing lembaga dalam menyelenggarakan Negara.
Berdasarkan terjadinya, terdapat dua jenis hukum yaitu hukum kodrat dan hukum yang didasarkan atas perjanjian antar manusia. Menurut Aristoteles, kedua jenis hukum ini tidak ada bedanya sebab menurut hukum kodratnya, manusia adalah makhluk yang harus hidup dalam persekutuan dangan sesamanya (makhluk polis). Di dalam dirinya ada dorongan yang berasal dari kodratnya sendiri yang menjadi alasan mengapa manusia menginginkan hidup bermasyarakat dan sekaligus ada dorongan lain yang disebabkan oleh kepentingan yang berlaku umum yang mendorong individu untuk berpartisipasi dengan sesamanya dalam menciptakan kehidupan yang baik. Hidup yang baik merupakan cita-cita tertinggi yang hendak dicapai, baik oleh masyarakat secara keseluruhan maupun oleh setiap individu. Demi citacita ini, secara bersama-sama manusia kemudian membentuk dan
menyelenggarakan sebuah persekutuan politis atau sebuah Negara.
Cita Negara hukum ini lama dilupakan orang, baru pada awal abad XVII timbul kembali di Barat yang merupakan janin konsep Negara hukum yang mulai dikenal pada abad XIX. John Locke dalam Two Treatises on Civil Government menyatakan bahwa: Manusia sejak dilahirkan telah memiliki kebebasan dan hak asasi, dan hak asasi manusia itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun terkecuali atas persetujuan pemiliknya, namun keadaan alami, hak-hak asasi dan kebebasannya belum terjamin penuh agar supaya hak-hak asasi dan kebebasan yang satu jangan melanggar hak-hak asasi dan kebebasan yang lainnya, maka mereka sepakat untuk mengakhiri keadaan alami dengan membentuk Body Politic atau Negara, yang tujuan negara adalah menjaga dan menjamin terlaksananya kebebasan dan hak asasi manusia.
Demikian perjanjian masyarakat itu sama artinya dengan hukum, dan kekuasaan negara terdiri atas kekuasaan pembentuk undang-undang, kekuasaan pelaksanaan undang-undang, kekuasaan federatif, yang buah pikirannya dipopulerkan oleh Montesquieu.
Montesquieu mengatakan bahwa fungsi Negara hukum harus dipisahkan dalam 3 (tiga) kekuasaan lembaga Negara dikenal dengan nama Trias Politika, yaitu :
1.    Kekuasaan legislatif, yang membentuk undang-undang.
2.    Kekuasaan Yudikatif, yang menjatuhkan hukuman atas kejahatan dan yang memberikan putusan apabila terjadi perselisihan antara para warga.
3.    Kekuasaan Eksekutif, yang melaksanakan undang-undang, memaklumkan perang, mengadakan perdamaian dengan Negara-negara lain, menjaga tata tertib, menindas pemberontakan dan lain-lain.
Konsep negara hukum lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme dan memberikan pengakuan serta perlindungan hak asasi
manusia, baik konsep continental yang disebut civil law, modern Roman Law, dengan latar belakang perjuangan yang bersifat revolusioner maupun rule of law yang bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law dengan latar belakang berkembang secara evolusioner. Artinya pemikiran Negara hukum timbul sebagai reaksi atas konsep Negara polisi (polizei staat).
Mengikuti Hans Nawiasky, polizei terdiri atas dua hal, yaitu Sicherheit dan Verwaltungpolizei yang berfungsi sebagai penyelenggara perekonomian atau penyelenggara semua kebutuhan hidup warga Negara. Oleh karena itu arti polizei staat adalah Negara yang menyelenggarakan ketertiban dan keamanan serta menyelenggarakan semua kebutuhan hidup warga negaranya.
Kedua konsep ini, baik rechtsstaat maupun rule of law yang merupakan produk abad XIX dan dipengaruhi oleh paham yang menitikberatkan pada individualisme telah menjadikan pemerintah sebagai nachwakersstaat (penjaga malam) yang lingkup tugasnya sangat sempit, terbatas pada tugas melaksanakan keputusan-keputusan parlemen yang dituangkan di dalam undang-undang. Dengan kata lain, pemerintah dituntut untuk pasif dalam arti hanya menjadi wasit atau pelaksana berbagai keinginan rakyat yang dituangkan di dalam undang-undang oleh parlemen.
Konsep Negara hukum rule of law di abad XIX, Albert Venn Dicey
dengan karyanya yang berjudul Introduction to Study of The Law of The Constitution tahun 1985 mengemukakan 3 (tiga) unsur utama rule of law yakni, supremacy of law, equality before the law, constitution based on individual rights.
Sedangkan konsep Negara hukum rechtsstaat yang ditulis oleh Immanuel Kant dalam karyanya yang berjudul Methaphysiche Ansfangsgrunde Der Rechtslehre yang dikenal dengan nama negara hukum liberal (nachwachter staat) yakni pembebasan penyelenggaraan perekonomian atau kemakmuran diserahkan pada rakyat dan negara tidak campur tangan dalam hal tersebut.
Konsep tersebut kemudian diperbaiki oleh Frederich Julius Stahl yang dinamakan negara hukum formal yang unsur utamanya adalah mengakui hak asasi manusia. Melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan Negara harus berdasarkan teori trias politika, dalam menjalankan tugasnya pemerintah berdasarkan atas undang-undang dan apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikan.
Memasuki abad ke XX perkembangan konsep Negara hukum rule of law mengalami perubahan, penelitian Wade dan Philips yang dimuat dalam karya yang berjudul Constitusional Law tahun 1955 berpendapat bahwa rule of law sudah berbeda dibandingkan pada waktu awalnya.20 Begitu juga dengan konsep negara hukum rechsstaat, dikemukakan oleh Paul Scholten dalam karya ilmiahnya yang berjudul Verzamelde Geschriften tahun 1935 dinyatakan bahwa dalam membahas unsur-unsur negara hukum dibedakan tingkatan unsur-unsur negara hukum , unsur yang dianggap penting dinamakan sebagai asas, dan unsur yang merupakan perwujudan asas dinamakan sebagai aspek.
Berikut ini adalah gambaran atas asas-asas (unsur utama) dan aspek dari negara hukum Scholten, yakni unsur utamanya adalah adanya hak warga negara terhadap negara/raja. Unsur ini mencakup 2 (dua) aspek; pertama hak individu pada prinsipnya berada di luar wewenang negara, kedua pembatasan hak individu hanyalah dengan ketentuan undang-undang yang berupa peraturan yang berlaku umum. Unsur kedua, adanya pemisahan kekuasaan
yakni dengan mengikuti Montesquieu dimana rakyat diikut sertakan di
dalamnya.
Perubahan konsep negara hukum ini disebabkan konsep negara hukum formal telah menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Menghadapi hal seperti itu pemerintah pada waktu itu tidak dapat berbuat apa-apa karena menurut prinsip negara hukum formal pemerintah hanya bertugas sebagai pelaksana undang-undang. Hal ini telah mengalami perubahan pengertian asas legalitas dalam prakteknya, yang semula diartikan pemerintahan berdasarkan atas undang-undang (wetmatigheit van het bestuur) keadaan inilah yang menumbulkan gagasan negara hukum material (welfare state).
Tindakan pemerintah atau penguasa sepanjang untuk kepentingan umum agar kemakmuran benar-benar terwujud secara nyata jadi bukan kemakmuran maya, maka hal ini dianggap diperkenankan oleh rakyat dalam negara hukum yang baru, yaitu negara hukum kemakmuran (welvaarts staat) dan negara adalah alat bagi suatu bangsa untuk mencapai tujuannya.
Perumusan ciri negara hukum dari konsep rechtstaat dan rule of law sebagaimana dikemukakan oleh A.V Dicey dan F.J Stahl kemudian
diinteregasikan pada perincian baru yang lebih memungkinkan pemerintah bersikap aktif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dihasilkan konferensi dari Internasional Comission of Jurist di Bangkok tahun 1965 menciptakan konsep negara yang dinamis atau konsep negara hukum material (welfare state) sebagai berikut :
1.    Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula menentukan cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2.    Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3.    Adanya pemilihan umum yang bebas.
4.    Adanya kebebasan menyatakan pendapat.
5.    Adanya kebebasan berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.
6.    Adanya pendidikan kewarganegaraan.23
Menurut Mahfud, selain dapat dilihat dari lingkup tugas pemerintah perbedaan Negara hukum dalam arti formal dan material dapat juga dilihat dari segi materi hukumnya. Negara hukum dalam arti formal didasarkan pada paham legisme yang berpandangan bahwa hukum itu sama dengan undang-undang sehingga menegakkan hukum berarti menegakkan undang-undang atau apa yang ditetapkan oleh badan legislatif, sedangkan Negara hukum dalam arti material melihat bahwa hukum bukan hanya yang secara formal ditetapkan oleh lembaga legislatif tetapi yang dipentingkan adalah nilai keadilannya. Seperti yang berlaku di Inggris misalnya, bisa saja undang-undang dikesampingkan bilamana bertentangan dengan rasa keadilan, oleh karenanya penegakkan hukum itu berarti penegakkan keadilan dan kebenaran.
Padmo Wahjono menyatakan, Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, yang berpangkal tolak pada perumusan sebagai yang digariskan oleh pembentuk undang-undang dasar Indonesia yaitu, Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum , dengan rumusan “rechtstaat” di kurung; dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, yang artinya digunakan dengan ukuran pandang hidup maupun pandangan bernegara bangsa Indonesia.
Bahwa pola ini merupakan suatu hasil pemikiran yang disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, nampak jelas kalau dihubungkan dengan teori-teori lainnya yang digunakan pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 dalam menyusun dan menggerakkan organisasi negara.
Meskipun UUD 1945 tidak memuat pernyataan secara tegas tentang negara hukum dan istilah tersebut tidak secara eksplisit muncul baik di dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945, tetapi muncul di dalam Penjelasan UUD 1945 dan dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yakni sebagai kunci pokok pertama dari sistem pemerintahan negara yang berbunyi, Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar