Total Tayangan Halaman

Selasa, 27 Maret 2012

LARANGAN PEMILIKAN TANAH ABSENTEE/GUNTAI
Oleh : M.Syukran Lubis., SH., CN., M.Kn

1.      Pengertian Tanah Pertanian Absentee/Guntai dan Pengaturannya.
Kata absentee berasal dari kata latin “absentee” atau “absentis”, yang berarti tidak hadir. Dalam kamus Bahasa Inggris karangan John M. Echlos dan Hasan Sadily, Absentee adalah yang tidak ada atau tidak hadir di tempatnya, atau landlord yaitu pemilik tanah bukan penduduk daerah itu, tuan tanah yang bertempat tinggal di lain tempat.
Pemilikan tanah pertanian secara absentee atau di dalam bahasa Sunda : “Guntai” yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar tempat tinggal yang empunya.
Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (telah diubah dan ditambah dengan PP No. 41 Tahun 1964) yang mengatur sebagai berikut : “ Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”. Menunjukkan bahwa pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai menurut Peraturan Perundang-undangan tidak diperbolehkan, karena pada prinsipnya melanggar asas dalam Pasal 10 UUPA yang mengatur bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

2.      Maksud dan Tujuan Diadakannya Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee/Guntai
Pada umumnya tanah-tanah pertanian letaknya adalah di desa, sedang mereka yang memiliki tanah secara absentee/guntai umumnya bertempat tinggal di kota. Orang yang tinggal di kota memiliki tanah pertanian di desa tentunya tidak sejalan dengan prinsip tanah pertanian untuk petani. Orang yang tinggal di kota sudah jelas bukan bukan termasuk kategori petani. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah pertanian sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, bukan dinikmati oleh orang kota yang tidak tinggal di desa.
Menurut Boedi Harsono, tujuan adanya larangan ini adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil.
Pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai ini, menimbulkan penggarapan yang tidak efisien, misalnya tentang penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan hasilnya, juga dapat menimbulkan sistem-sistem penghisapan. Ini berarti bahwa para petani penggarap tanah milik orang lain dengan sepenuh tenaganya, tanggung jawabnya dan segala resikonya, tetapi hanya menerima sebagian dari hasil yang dikelolanya. Di sisi lain, pemilik tanah yang berada jauh dari letak tanah dan tidak mengerjakan tanahnya tanpa menanggung segala resiko dan tanpa mengeluarkan keringatnya akan mendapatkan bagian lebih besar dari hasil tanahnya. Sehingga hal itu tidak sesuai dengan tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia yaitu untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah dan sebagai landasan atau persyaratan untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

3.      Dasar Hukum yang Mengatur Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee/Guntai
Tanah pertanian yaitu tanah selain untuk perumahan dan perusahaan yang menjadi hak seseorang yang meliputi sawah dan tanah kering. Sedangkan katagori tanah sawah adalah sawah beririgasi maupun sawah tadah hujan, sedangkan tanah kering adalah bukan sawah, tapi termasuk juga tambak, empang untuk perikanan, namun pada hakekatnya tidak kering.
Secara yuridis, dasar hukum mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai telah dituangkan dalam Pasal 3 PP No 224 Tahun 1961 dan PP No 41 Tahun 1964 (tambahan Pasal 3a s/d 3e). Kedua Peraturan Pemerintah ini merupakan aturan pelaksanaan dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal 10 UUPA, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sistem pemerasan yang dilakukan terhadap golongan ekonomi lemah.
Dalam Pasal 10 UUPA telah dikemukakan bahwa yang mempunyai tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, sehingga kemudian diadakanlah ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara apa yang disebut absentee/guntai yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar wilayah kecamatan tempat tinggal pemilik tanah.
Pada pokoknya dilarang memiliki tanah di luar kecamatan tempat letaknya tanahnya. Larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak tempat pemilik itu dan tanahnya, masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien.
Mengingat bahwa tujuan ketentuan Pasal 10 UUPA ini adalah menyangkut kepentingan umum, maka secara yuridis ketentuan dalam pasal ini termasuk ketentuan-ketentuan hukum yang memaksa atau “Dwingend Recht”.
Menurut ketentuan Pasal 3 PP No 224 Tahun 1961, disebutkan bahwa:
Ayat (1) Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan letak tempat tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut.
Ayat (2) Kewajiban dalam ayat (1) tidak berlaku bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal dan tanahnya masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien.
Ayat (3) Dengan tidak mengurangi ketentuan pada ayat (2) pasal ini, maka jika pemilik tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya ke luar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik atas
tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu.
Ayat (4) Ketentuan ayat (1) dan (3) tidak berlaku bagi mereka yang menjalankan tugas Negara, menunaikan kewajiban agama atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima Menteri Agraria. Bagi pegawai Negeri dan Pejabat Militer dan menjalankan tugas Negara, perkecualian tersebut pada ayat ini terbatas pada pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan menurut UU No. 56 Tahun 1960
Ayat (5) Jika kewajiban pada ayat (1) dan (3) tidak dipenuhi maka tanah yang bersangkutan diambil oleh Pemerintah.
Jangka waktu pemindahan hak milik atas tanah pertanian yang dimaksud dalam pasal tersebut perlu dibatasi agar pemilik tanah yang bersangkutan tidak mengulur-ulur waktu dalam usahanya untuk memindahkan hak miliknya tersebut.
Jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap larangan tersebut maka tanah yang bersangkutan akan diambil alih oleh Pemerintah untuk kemudahan diredistribusikan dalam rangka program landreform, dan kepada bekas pemilik diberikan ganti rugi menurut ketentuan yang berlaku. Pemberian ganti rugi ini diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP. 224 Tahun 1961.
Jadi siapapun dalam hubungan dengan masalah pemilikan tanah absentee/guntai harus tunduk kepada Peraturan Pemerintah tersebut. Selain daripada itu dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No 224 Tahun 1961 ditetapkan sanksi pidana kepada pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja menghalang-halangi pengambilan tanah oleh pemerintah dan pembagiannya.
Yang terjadi dalam praktik adalah bahwa ada sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Penguasaan tanah secara absentee/guntai ini pada umumnya diketahui oleh masyarakat sekitar.
Hal itu dapat terjadi melalui dua cara, yakni dengan cara memiliki KTP ganda yang memungkinkan seseorang menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee/guntai dan melalui upaya pemindahan hak terselubung yang dikenal dengan cara pemberian kuasa mutlak. Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (sebenarnya penjual) memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (sebenarnya pembeli) yang diberi wewenang untuk menguasai, menggunakan, dan melakukan segala perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek pemberian kuasa, sehingga pada hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas merupakan penyelundupan hukum, karena dimaksudkan untuk melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Gejala yang tampak adalah bahwa di satu pihak pemilik semula yang menggantungkan hidupnya pada produk pertanian justru terdepak dari tanahnya karena kebutuhan akan uang, dan di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan modal yang menginginkan penumpukan tanah sebagai sarana investasi. Maka yang terjadi adalah gejala menjadi buruh di atas tanah “miliknya” sendiri.

4.      Pengecualian Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee/Guntai
Pengecualian dari larangan pemilikan Tanah Absentee/Guntai yaitu :
a.       mereka yang menjalankan tugas Negara
b.      mereka yang sedang menunaikan kewajiban agama
c.       mereka yang mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh Menteri Agraria.
Pengecualian pemilikan tanah pertanian secara guntai sampai 2/5 dari luas maksimum untuk Daerah Tingkat II (sekarang Kabupaten/Kota) yang bersangkutan, diberikan kepada :
a.       Pensiunan Pegawai Negeri
b.      Janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.
Dengan adanya pengecualian tersebut seorang pegawai negeri dalam waktu 2 tahun menjelang pensiun diperbolehkan membeli tanah pertanian secara absentee sampai batas 2/5 luas maksimum untuk Daerah Kabupaten/Kota letak tanah yang bersangkutan. Di dalam pengecualian ini termasuk pula pemilikan oleh istri dan anak yang masih menjadi tanggungannya. Tetapi sewaktu-waktu seorang pegawai negeri atau yang dipersamakan dengan mereka berhenti menjalankan tugas Negara, misalnya mendapat pensiun, maka ia wajib memenuhi ketentuan tersebut dalam waktu satu tahun terhitung sejak mengakhiri tugasnya. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria jika ada alasan yang wajar.
Pengecualian bagi pensiunan pegawai negeri diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri. Yang mengatur bahwa ketentuan-ketentuan pengecualian mengenai pemilikan tanah pertanian yang berlaku bagi pegawai negeri diberlakukan juga bagi para pensiunan pegawai negeri.
Pemilikan tersebut boleh diteruskan setelah pensiun, sekiranya kemudian ia berpindah tempat tinggal ke kecamatan letak tanah yang bersangkutan, dengan sendirinya pemilikan tersebut dapat ditambah hingga seluas batas maksimum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar