GADAI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Oleh : M. Syukran Lubis, SH.,CN.,M.Kn
1. Pengertian Gadai
Pengertian gadai dalam kamus
umum bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka adalah : “pinjam-meminjam uang
dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika
telah sampai pada waktunya tidak ditebus barang itu menjadi hak yang memberi
pinjaman”.[1]
Di dalam KUH Perdata
Pasal 1150 mengatakan, gadai adalah :
Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang
atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang
atau seorang lain atas namanya, dan yang
memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya;
dengan kekecualian biaya untuk melelang barang-barang tersebut dan biaya yang
telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya mana harus didahulukan.
Menurut Prof. R. Subekti,
SH, dengan mengacu pada Pasal 1150 KUH Perdata, pandrecht adalah :
“suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain, yang semata-mata
diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk
mengambil pelunasan suatu utang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih
dahulu dari penagih-penagih lainnya”. [2]
Selain itu, Menurut Prof.
Wiryono Prodjodikoro, SH, bahwa gadai adalah : “sebagai suatu hak yang didapatkan
si berpiutang atau orang lain atas namanya untuk menjamin pembayaran utang dan
memberi hak kepada si berpiutang untuk dibayar lebih dahulu dari si berpiutang
lain dari uang pendapatan penjualan barang itu”.[3]
Dari
beberapa pengertian gadai di atas, maka ada beberapa unsur yang terkait dalam
gadai yaitu :
a. Penerima gadai atau pemegang gadai
b. Memberi gadai atau menggadaikan
c. Pihak yang menyerahkan benda gadai
Dengan demikian gadai
merupakan pemberian berupa benda bergerak untuk dijadikan sebagai jaminan
utang. Dalam hal ini berupa jaminan yang mudah dijadikan uang untuk dapat
menutup pinjaman apabila tidak dapat dilunasi oleh si peminjam atau debitur.
Di negara-negara Eropa,
Inggris dan Amerika, untuk pengertian gadai dipergunakan istilah “Pledge or pawn ; pand ”. Menurut Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan, “Pledge or
pawn: pand” ialah lembaga jaminan seperti yang kita kenal dengan gadai di
Indonesia. Semuanya tertuju pada benda bergerak.”[4]
Pledge adalah “merupakan suatu jaminan benda dengan cara penguasaan
dan penyimpanan benda tersebut untuk kepentingan pembayaran suatu hutang atau
tercapainya beberapa prestasi tertentu”. [5]
Selanjutnya
dapat juga dikatakan bahwa gadai adalah suatu jaminan benda bergerak dengan
menguasai bendanya bagi kreditur yang diserahkan oleh debitur.
Jaminan
dengan menguasai bendanya pada gadai tertuju pada benda bergerak yang
memberikan hak preferensi (droit de preference) dan hak yang senantiasa
mengikuti bendanya (droit de suit). Pemegang gadai juga mendapat
perlindungan terhadap pihak ketiga seolah-olah ia sebagai pemiliknya sendiri
dari benda tersebut. Ia mendapat perlindungan jika menerima benda tersebut
dengan itikad baik (te goeder trouw ; in good faith), yaitu mengira
bahwa si debitur tersebut adalah pemilik yang sesungguhnya dari benda itu.
Di luar negeri yaitu di negara-negara
Eropa, Inggris, Amerika dan Asia juga mengenal
lembaga-lembaga jaminan dengan menguasai bendanya (possesory security) dan lembaga-lembaga jaminan dengan tanpa
menguasai bendanya (non-possesory
security). Jaminan dengan menguasai bendanya, umumnya juga berupa gadai (pledge)
dan hak retensi (possesorry liens). Sedangkan yang tergolong lembaga
jaminan tanpa menguasai bendanya umumnya terdiri atas mortgage, chattel
mortgage, (ship mortgage dan aircraft mortgage), hire purchase (sewa beli),
preferential rights (hak privilegi). Penggolongan dan jenis
lembaga jaminan seperti tersebut di atas dikenal hampir di semua negara hanya
dengan sedikit variasi di sana-sini.[6]
2. Objek
Hak gadai.
Sebelum
menjelaskan mengenai objek jaminan gadai, terlebih dahulu akan dijelaskan
mengenai pembagian benda berdasarkan KUH Perdata.
Menurut
ketentuan di dalam KUH Perdata, penggolongan benda dapat dibagi sebagai berikut :
A. Menurut Pasal 503 KUH Perdata benda
itu dapat dibagi dalam :
A.1. Benda yang berwujud, ialah segala
sesuatu yang dapat diraba oleh panca indera, seperti : rumah, mobil, buku.
A.2. Benda yang tak berwujud, ialah segala
macam hak, seperti : hak cipta, hak
merek perdagangan.
B. Menurut Pasal 504 KUH Perdata benda
itu dapat juga dibagi atas :
B.1. Benda bergerak, dapat dibagi menjadi
:
B.1.1. Benda bergerak menurut sifatnya ialah
benda yang dapat dipindahkan (Pasal 509 KUH Perdata), seperti : kursi, meja,
buku.
B.1.2 Benda bergerak menurut ketentuan
undang-undang ialah hak hak yang
melekat atas benda bergerak (Pasal 511
KUH Perdata), seperti : hak memungut hasil atas benda bergerak,
saham-saham perusahaan, piutang-piutang.
B.2. Benda tidak bergerak, dapat dibagi
menjadi :
B.2.1. Benda tidak bergerak menurut sifatnya
ialah benda yang tidak dapat dipindah-pindahkan (Pasal 506 KUH Perdata),
seperti : tanah dan segala yang melekat diatasnya, rumah, gedung, pepohonan.
B.2.2. Benda tidak bergerak karena tujuannya
ialah benda yang dilekatkan pada benda tidak bergerak sebagai benda pokok untuk
tujuan tertentu (Pasal 507 KUH Perdata), seperti : mesin-mesin yang dipasang
disuatu pabrik.
B.2.3. Benda tidak bergerak karena ketentuan
undang-undang ialah hak-hak yang melekat atas benda tidak bergerak (Pasal 508
KUH Perdata), seperti : hipotik, hak memungut hasil atas benda tidak bergerak.
Untuk
masing-masing kelompok benda tersebut KUH Perdata telah memberikan lembaga
jaminannya sendiri-sendiri, yaitu untuk barang bergerak di sebut dengan gadai,
sedangkan untuk benda tetap disebut dengan hipotik.
Dalam
Pasal 1150 jo. Pasal 1152 KUH Perdata menyatakan, yang dapat dijadikan objek dari hak gadai ialah
semua benda bergerak. Selanjutnya
Pasal 1167 KUH Perdata mempertegas lagi dengan menyatakan, bahwa
barang-barang bergerak tidak dapat dihipotikkan.
Konsekwensi
pembagian benda seperti tersebut di atas dikemudian hari tidak diikuti secara
konsekwen, karena kita pernah mengenal lembaga jaminan benda bergerak yang
disebut oogstverband dan untuk benda tetap yang disebut credietverband.
Bahkan, sekarang kita mengenal lembaga jaminan untuk persil berupa hak
tanggungan dan fidusia untuk benda bergerak. [7]
Dengan
adanya penyebutan secara khusus dan berturut-turut dalam Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata tentang
hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang atas bawa/tunjuk,
dapat dikatakan bahwa gadai dapat diletakkan, baik atas barang-barang bergerak
bertubuh (berwujud) maupun yang tidak bertubuh. Juga di dalam pasal 1158, Pasal
1152 bis, dan Pasal 1153 KUH Perdata
dibicarakan tentang menggadaikan suatu tagihan.
3. Terjadinya Hak Gadai
Hak
Gadai terjadi dengan memperjanjikannya terlebih dahulu, hal ini berarti
terjadinya hak gadai tersebut baru ada setelah proses perjanjian gadai
dilaksanakan.
Di
dalam perjanjian gadai, ada asas-asas
hukum perjanjian yang dipakai dan berlaku yaitu :
a. Asas kebebasan membuat perjanjian
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak dalam perjanjian bebas menentukan
hak dan kewajibannya. Asas
ini disebut juga dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
(Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata). Asas kebebasan berkontrak ini tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.
b. Asas Konsensualitas
Asas ini mempunyai arti
bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua
belah pihak . Hal ini sesuai dengan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian
(Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata)
c. Asas Kepatutan/Itikad baik
Asas ini lebih
mengutamakan kepatutan atau kesesuaian antara debitur dan kreditur untuk
melakukan dan melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Hal ini terdapat
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
Selanjutnya
untuk sahnya persetujuan pemberian gadai, maka haruslah memenuhi syarat-syarat
sah suatu perjanjian yang di atur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
1. Sepakat mereka yang membuat
perjanjian.
2. Cakap untuk membuat perjanjian.
3. Mengenai suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Dua
syarat yaitu yang pertama serta kedua dikatakan syarat subjektif, karena
mengenai orang atau subjek yang mengadakan perjanjian sedangkan dua syarat yang
ketiga serta keempat dikatakan syarat objektif karena mengenai isi
perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang di lakukan itu.
ad. 1. Sepakat mereka yang membuat perjanjian.
Hal
ini dimaksudkan bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian, harus
terlebih dahulu sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam
perjanjian yang akan diadakan itu.
Menurut
Pasal 1321 KUH Perdata kata sepakat yang telah diberikan ini adalah menjadi
tidak sah apabila kata sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau di
perolehnya dengan paksaan atau penipuan.
ad. 2. Cakap untuk membuat perjanjian.
Pada dasarnya setiap
orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh undang-undang
dinyatakan tidak cakap.
Menurut
Pasal 1330 KUH Perdata mereka yang dianggap tidak cakap membuat perjanjian
adalah :
a.
Orang-orang
yang belum dewasa.
b.
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
c.
Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian tertentu.
ad. 3. Mengenai suatu hal tertentu.
Suatu
hal tertentu maksudnya, objek yang diatur dalam perjanjian tersebut harus
jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar.
ad. 4. Suatu sebab yang halal.
Maksudnya,
isi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang - undangan
yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan atau kesusilaan.
Gadai
diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas suatu kewajiban
prestasi tertentu, karenanya dikatakan bahwa perjanjian gadai mengabdi kepada
perjanjian pokoknya atau dikatakan bahwa ia merupakan perjanjian yang bersifat accessoir.
Perjanjian accessoir mempunyai
ciri-ciri antara lain:
a. tidak dapat berdiri sendiri,
b. adanya/timbulnya maupun hapusnya
bergantung pada perikatan pokoknya,
c. apabila perikatan pokok dialihkan, accessoir
turut beralih.
Konsekwensi perjanjian
gadai sebagai perjanjian accessoir adalah :
a. bahwa sekalipun perjanjian gadainya sendiri
mungkin batal karena melanggar ketentuan gadai yang bersifat memaksa, tetapi
perjanjian pokoknya sendiri
(perjanjian utang piutang /kredit ) tetap berlaku, kalau ia dibuat
secara sah. Hanya saja tagihan tersebut sekarang berkedudukan sebagai tagihan
konkuren belaka, kalau tidak ada dasar preferensi yang lain,
b. hak gadainya sendiri tidak dapat
dipindahkan tanpa turut sertanya (turut berpindahnya) perikatan pokoknya,
tetapi peralihan perikatan pokok dapat meliputi accessoirnya, termasuk
hak gadainya apabila ada diperjanjikan.
Di
dalam mengadakan perjanjian gadai, harus ada perjanjian utang-piutang sebagai
perjanjian pokok dan harus ada benda bergerak sebagai jaminan utang. Setelah
kedua hal tersebut dipenuhi, lalu dibuat perjanjian gadai.
Dalam pelaksanaan gadai
ada proses yang terdiri dari 2 (dua) fase, yaitu :
1. Fase Pertama
Fase Pertama adalah perjanjian pinjam uang (kredit)
dengan janji sanggup memberikan benda bergerak sebagai jaminan. Perjanjian ini
bersifat konsensuil, obligatoir. Perjanjian ini merupakan awal dari perjanjian
pemberian gadai.
2. Fase Kedua
Fase Kedua adalah penyerahan benda gadai dalam
kekuasan penerima gadai sesuai dengan benda gadai adalah benda bergerak, maka
benda itu harus dilepaskan dari kekuasaan debitur atau pemberi gadai.
Penyerahan itu harus nyata, tidak boleh hanya berdasarkan pernyataan dari
debitur, sedangkan benda itu berada dalam kekuasaan debitur itu. Hal ini sesuai
dengan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata.[8]
Dengan
demikian hak gadai dianggap barulah terjadi dengan penyerahan kekuasaan (bezit
) atas benda yang dijadikan jaminan itu pada kreditur. Penyerahan kekuasaan ini
dianggap sebagai syarat mutlak untuk terjadinya hak gadai.
4. Hak dan Kewajiban Pemegang gadai.
Di
dalam perjanjian gadai (perjanjian pengakuan hutang dengan gadai barang)
terdapat dua pihak yang terlibat, yaitu
pihak yang memberikan jaminan dan yang menerima jaminan. Pihak yang memberikan
jaminan disebut dengan pemberi-gadai, sedangkan pihak yang menerima jaminan
disebut dengan penerima-gadai.
Kedua
belah pihak, baik pemberi gadai maupun penerima gadai setelah perjanjian gadai
disepakati, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban pihak
yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban yang lain. Hak dan kewajiban ini
harus dilaksanakan bagi masing-masing pihak agar tidak terjadi perselisihan
yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak atau keduanya.
Hak
adalah “kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum untuk berbuat
apa saja asal tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku,
ketertiban umum dan kepatutan. Hak merupakan tuntutan sah agar orang lain
bersikap dan berperilaku dengan cara tertentu”.[9]
Hak dapat dibedakan
menjadi dua bagian yaitu :
1. Hak mutlak, yaitu kewenangan atas
kekuasaan mutlak yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. Pemegang hak
mutlak dapat mempertahankannya terhadap siapapun juga.
2. Hak relatif (nisbi), ialah hak yang
memberikan kewenangan kepada seseorang atau beberapa orang untuk menuntut agar
orang lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hak relatif biasanya
timbul karena perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh para subjek hukum. Hak
relatif hanya berlaku bagi orang tertentu saja.
Sedangkan
kewajiban adalah “beban yang diberikan oleh hukum kepada orang ataupun badan hukum”.[10]
Menurut
KUH Perdata disebutkan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemegang gadai
yaitu :
a. Hak Pemegang gadai
1. Pemegang gadai berhak untuk
menggadaikan lagi barang gadai itu, apabila hal itu sudah menjadi kebiasaan,
seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau obligasi (Pasal 1155
KUH Perdata).
2. Apabila pemberi gadai (si berutang)
melakukan wanprestasi, maka pemegang gadai (si berpiutang) berhak untuk menjual
barang yang digadaikan itu, dan kemudian
mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang itu. Penjualan barang itu
dapat dilakukan sendiri atau dapat juga meminta perantaraan hakim (Pasal 1156
ayat (1) KUH Perdata).
3. Pemegang gadai berhak untuk
mendapatkan ganti biaya–biaya yang telah ia keluarkan untuk menyelamatkan
barang yang digadaikan itu (Pasal 1157 ayat (2) KUH Perdata).
4. Pemegang gadai berhak untuk menahan
barang yang digadaikan sampai pada waktu utang dilunasi, baik mengenai jumlah
pokok maupun bunga (Pasal 1159 ayat (1) KUH Perdata).
b. Kewajiban Pemegang gadai
1. Pemegang gadai wajib memberitahukan
pada orang yang berutang apabila ia hendak menjual barang gadainya (Pasal 1156
ayat (2) KUHPerdata).
2. Pemegang gadai bertanggung jawab atas
hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan, jika itu semua terjadi
karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat
(1) KUHPerdata).
3. Pemegang gadai harus memberikan perhitungan tentang
pendapatan penjualan itu, dan setelah ia
mengambil pelunasan utangnya, maka ia harus menyerahkan kelebihannya pada si
berutang (Pasal 1158 KUHPerdata).
4. Pemegang gadai harus mengembalikan
barang gadai kepada pemberi gadai, apabila utang pokok, bunga dan biaya untuk
menyelamatkan barang gadai telah di bayar lunas (Pasal 1159 KUHPerdata).
- Hapusnya Gadai
Hak gadai akan
hapus dalam hal-hal berikut ini :
a.
Dengan hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan
gadai. Ini sesuai dengan sifat accessoir daripada gadai, sehingga
nasibnya bergantung kepada perikatan pokoknya.
Perikatan pokok hapus antara lain karena :
1)
pelunasan
2)
kompensasi
3)
novasi
4)
penghapusan hutang
b.
Dengan terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan
pemegang gadai.
Tetapi pemegang gadai masih mempunyai hak untuk menuntutnya kembali dan
jika berhasil, maka undang-undang menganggap perjanjian gadai tersebut tidak pernah
terputus (Pasal 1152 ayat (3) K.U.H.Perdata).
c.
Dengan hapus/ musnahnya benda jaminan.
d.
Dengan dilepasnya benda gadai secara suka rela.
e.
Dengan percampuran, yaitu dalam hal pemegang-gadai
menjadi pemilik barang gadai tersebut.
f.
Kalau ada penyalahgunaan benda gadai oleh
pemegang-gadai (Pasal 1159 KUH
Perdata). Sebenarnya undang-undang tidak mengatakan secara tegas mengenai hal
ini. Hanya dalam Pasal 1159 KUH Perdata dikatakan, bahwa pemegang-gadai
mempunyai hak retensi, kecuali kalau ia menyalahgunakan benda gadai, dalam hal
mana secara a contrario dapat disimpulkan, bahwa pemberi-gadai berhak
untuk menuntut kembali benda jaminan. Kalau
benda jaminan keluar dari kekuasaan pemegang-gadai, maka gadainya
menjadi hapus.
[1] Balai
Pustaka, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta, 1997,
hal 283
[2] Subekti, Pokok-pokok
Hukum Perdata, Intermasa,
Jakarta,
Cet. XXI, 1982, ( selanjutnya
disingkat Subekti I) hal. 79.
[3] Wiryono
Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-hak Atas Benda, Intermasa, Cet.
V , Jakarta, 1986 hal 153.
[4] Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan,, Liberty, Yogyakarta, Cet I, 1980, hal 25.
[5] Hanna John et al, Op. Cit, hal 1.
[6] Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit, hal .57
[7] J.
Satrio, Op.Cit, hal. 91-92.
[8] Mariam
Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fiducia,
Citra Aditya Bakti, Bandung,
1991, (selanjutnya disingkat Mariam
Darus Badrulzaman I), hal 58
[9] J. B.
Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum : Buku Panduan Mahasiswa, Prenhallindo,
Jakarta,
2001, hal. 32
[10] Ibid,
Hal 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar