Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Februari 2012

GADAI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Oleh : M. Syukran Lubis, SH.,CN.,M.Kn
 
  1. Pengertian Gadai
Pengertian gadai dalam kamus umum bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka adalah : “pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman”.[1]
Di dalam KUH Perdata Pasal 1150 mengatakan, gadai adalah :           
 Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan  yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang-barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Menurut Prof. R. Subekti, SH, dengan mengacu pada Pasal 1150 KUH Perdata, pandrecht adalah : “suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak  kepunyaan orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya”. [2]
Selain itu, Menurut Prof. Wiryono Prodjodikoro, SH, bahwa gadai    adalah : “sebagai suatu hak yang didapatkan si berpiutang atau orang lain atas namanya untuk menjamin pembayaran utang dan memberi hak kepada si berpiutang untuk dibayar lebih dahulu dari si berpiutang lain dari uang pendapatan penjualan barang itu”.[3]
Dari beberapa pengertian gadai di atas, maka ada beberapa unsur yang terkait dalam gadai yaitu :
a.       Penerima gadai atau pemegang gadai
b.      Memberi gadai atau menggadaikan
c.       Pihak yang menyerahkan benda gadai
Dengan demikian gadai merupakan pemberian berupa benda bergerak untuk dijadikan sebagai jaminan utang. Dalam hal ini berupa jaminan yang mudah dijadikan uang untuk dapat menutup pinjaman apabila tidak dapat dilunasi oleh si peminjam atau debitur.
Di negara-negara Eropa, Inggris dan Amerika, untuk pengertian gadai dipergunakan istilah “Pledge or pawn ; pand ”. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Pledge or pawn: pand” ialah lembaga jaminan seperti yang kita kenal dengan gadai di Indonesia. Semuanya tertuju pada benda bergerak.”[4]
Pledge adalah “merupakan suatu jaminan benda dengan cara penguasaan dan penyimpanan benda tersebut untuk kepentingan pembayaran suatu hutang atau tercapainya beberapa prestasi tertentu”. [5]
Selanjutnya dapat juga dikatakan bahwa gadai adalah suatu jaminan benda bergerak dengan menguasai bendanya bagi kreditur yang diserahkan oleh debitur.
Jaminan dengan menguasai bendanya pada gadai tertuju pada benda bergerak yang memberikan hak preferensi (droit de preference) dan hak yang senantiasa mengikuti bendanya (droit de suit). Pemegang gadai juga mendapat perlindungan terhadap pihak ketiga seolah-olah ia sebagai pemiliknya sendiri dari benda tersebut. Ia mendapat perlindungan jika menerima benda tersebut dengan itikad baik (te goeder trouw ; in good faith), yaitu mengira bahwa si debitur tersebut adalah pemilik yang sesungguhnya dari benda itu.
Di luar negeri yaitu di negara-negara Eropa, Inggris, Amerika dan Asia juga mengenal lembaga-lembaga jaminan dengan menguasai bendanya (possesory security) dan lembaga-lembaga jaminan dengan tanpa menguasai bendanya (non-possesory security). Jaminan dengan menguasai bendanya, umumnya juga berupa gadai (pledge) dan hak retensi (possesorry liens). Sedangkan yang tergolong lembaga jaminan tanpa menguasai bendanya umumnya terdiri atas mortgage, chattel mortgage, (ship mortgage dan aircraft mortgage), hire purchase (sewa beli), preferential rights (hak privilegi). Penggolongan dan jenis lembaga jaminan seperti tersebut di atas dikenal hampir di semua negara hanya dengan sedikit variasi di sana-sini.[6]

 2.  Objek Hak gadai
Sebelum menjelaskan mengenai objek jaminan gadai, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pembagian benda berdasarkan KUH Perdata.
Menurut ketentuan di dalam KUH Perdata, penggolongan benda dapat dibagi sebagai  berikut :
A.     Menurut Pasal 503 KUH Perdata benda itu dapat dibagi dalam :
A.1.      Benda yang berwujud, ialah segala sesuatu yang dapat diraba oleh panca indera, seperti : rumah, mobil, buku.
A.2.      Benda yang tak berwujud, ialah segala macam hak,  seperti : hak cipta, hak merek perdagangan.
B.     Menurut Pasal 504 KUH Perdata benda itu dapat juga dibagi atas :
B.1.      Benda bergerak, dapat dibagi menjadi :
B.1.1.     Benda bergerak menurut sifatnya ialah benda yang dapat dipindahkan (Pasal 509 KUH Perdata), seperti : kursi, meja, buku.
B.1.2       Benda bergerak menurut ketentuan undang-undang ialah        hak hak yang melekat atas benda bergerak (Pasal 511        KUH Perdata), seperti : hak memungut hasil atas benda bergerak, saham-saham perusahaan,  piutang-piutang.
B.2.      Benda tidak bergerak, dapat dibagi menjadi :
B.2.1.     Benda tidak bergerak menurut sifatnya ialah benda yang tidak dapat dipindah-pindahkan (Pasal 506 KUH Perdata), seperti : tanah dan segala yang melekat diatasnya, rumah, gedung, pepohonan.
B.2.2.     Benda tidak bergerak karena tujuannya ialah benda yang dilekatkan pada benda tidak bergerak sebagai benda pokok untuk tujuan tertentu (Pasal 507 KUH Perdata), seperti : mesin-mesin yang dipasang disuatu pabrik.
B.2.3.     Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang ialah hak-hak yang melekat atas benda tidak bergerak (Pasal 508 KUH Perdata), seperti : hipotik, hak memungut hasil atas  benda tidak bergerak.
Untuk masing-masing kelompok benda tersebut KUH Perdata telah memberikan lembaga jaminannya sendiri-sendiri, yaitu untuk barang bergerak di sebut dengan gadai, sedangkan untuk benda tetap disebut dengan hipotik.
Dalam Pasal 1150 jo. Pasal 1152 KUH Perdata menyatakan, yang  dapat dijadikan objek dari hak gadai ialah semua benda bergerak. Selanjutnya         Pasal 1167 KUH Perdata mempertegas lagi dengan menyatakan, bahwa barang-barang bergerak tidak dapat dihipotikkan.
            Konsekwensi pembagian benda seperti tersebut di atas dikemudian hari tidak diikuti secara konsekwen, karena kita pernah mengenal lembaga jaminan benda bergerak yang disebut oogstverband dan untuk benda tetap yang disebut credietverband. Bahkan, sekarang kita mengenal lembaga jaminan untuk persil berupa hak tanggungan dan fidusia untuk benda bergerak. [7]

Dengan adanya penyebutan secara khusus dan berturut-turut dalam     Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata tentang hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang atas bawa/tunjuk, dapat dikatakan bahwa gadai dapat diletakkan, baik atas barang-barang bergerak bertubuh (berwujud) maupun yang tidak bertubuh. Juga di dalam pasal 1158, Pasal 1152 bis, dan Pasal 1153  KUH Perdata dibicarakan tentang menggadaikan suatu tagihan.
3.      Terjadinya Hak Gadai
Hak Gadai terjadi dengan memperjanjikannya terlebih dahulu, hal ini berarti terjadinya hak gadai tersebut baru ada setelah proses perjanjian gadai dilaksanakan.
Di dalam perjanjian gadai,  ada asas-asas hukum perjanjian yang dipakai dan berlaku yaitu :
a.       Asas kebebasan membuat perjanjian
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak dalam perjanjian bebas menentukan hak dan kewajibannya. Asas ini disebut juga dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata). Asas kebebasan berkontrak ini tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.
b.      Asas Konsensualitas
Asas ini mempunyai arti bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak . Hal ini sesuai dengan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata)
c.       Asas Kepatutan/Itikad baik
Asas ini lebih mengutamakan kepatutan atau kesesuaian antara debitur dan kreditur untuk melakukan dan melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Hal ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
Selanjutnya untuk sahnya persetujuan pemberian gadai, maka haruslah memenuhi syarat-syarat sah suatu perjanjian yang di atur dalam Pasal 1320   KUH Perdata yaitu :
1.      Sepakat mereka yang membuat perjanjian.
2.      Cakap untuk membuat perjanjian.
3.      Mengenai suatu hal tertentu.
4.      Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yaitu yang pertama serta kedua dikatakan syarat subjektif, karena mengenai orang atau subjek yang mengadakan perjanjian sedangkan dua syarat yang ketiga serta keempat dikatakan syarat objektif karena mengenai isi perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang di lakukan itu.
ad. 1.   Sepakat mereka yang membuat perjanjian.
Hal ini dimaksudkan bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian, harus terlebih dahulu sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang akan diadakan itu.
Menurut Pasal 1321 KUH Perdata kata sepakat yang telah diberikan ini adalah menjadi tidak sah apabila kata sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau di perolehnya dengan paksaan atau penipuan.
ad. 2.   Cakap untuk membuat perjanjian.
Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.
Menurut Pasal 1330 KUH Perdata mereka yang dianggap tidak cakap membuat perjanjian adalah :
a.       Orang-orang  yang belum dewasa.
b.      Mereka yang ditaruh dibawah  pengampuan.
c.       Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
ad. 3.   Mengenai suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu maksudnya, objek yang diatur dalam perjanjian tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar.
ad. 4.   Suatu sebab yang halal.
Maksudnya, isi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang - undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan atau kesusilaan.
Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas suatu kewajiban prestasi tertentu, karenanya dikatakan bahwa perjanjian gadai mengabdi kepada perjanjian pokoknya atau dikatakan bahwa ia merupakan perjanjian yang  bersifat accessoir.
Perjanjian accessoir mempunyai ciri-ciri antara lain:
a.       tidak dapat berdiri sendiri,
b.      adanya/timbulnya maupun hapusnya bergantung pada perikatan pokoknya,
c.       apabila perikatan pokok dialihkan, accessoir turut beralih.
Konsekwensi perjanjian gadai sebagai perjanjian accessoir adalah :
a.       bahwa sekalipun perjanjian gadainya sendiri mungkin batal karena melanggar ketentuan gadai yang bersifat memaksa, tetapi perjanjian pokoknya sendiri            (perjanjian utang piutang /kredit ) tetap berlaku, kalau ia dibuat secara sah. Hanya saja tagihan tersebut sekarang berkedudukan sebagai tagihan konkuren belaka, kalau tidak ada dasar preferensi yang lain,
b.      hak gadainya sendiri tidak dapat dipindahkan tanpa turut sertanya (turut berpindahnya) perikatan pokoknya, tetapi peralihan perikatan pokok dapat meliputi accessoirnya, termasuk hak gadainya apabila ada diperjanjikan.
Di dalam mengadakan perjanjian gadai, harus ada perjanjian utang-piutang sebagai perjanjian pokok dan harus ada benda bergerak sebagai jaminan utang. Setelah kedua hal tersebut dipenuhi, lalu dibuat perjanjian gadai.
Dalam pelaksanaan gadai ada proses yang terdiri dari 2 (dua) fase, yaitu :
1.      Fase Pertama
Fase Pertama adalah perjanjian pinjam uang (kredit) dengan janji sanggup memberikan benda bergerak sebagai jaminan. Perjanjian ini bersifat konsensuil, obligatoir. Perjanjian ini merupakan awal dari perjanjian pemberian gadai.
2.      Fase Kedua
Fase Kedua adalah penyerahan benda gadai dalam kekuasan penerima gadai sesuai dengan benda gadai adalah benda bergerak, maka benda itu harus dilepaskan dari kekuasaan debitur atau pemberi gadai. Penyerahan itu harus nyata, tidak boleh hanya berdasarkan pernyataan dari debitur, sedangkan benda itu berada dalam kekuasaan debitur itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata.[8]

Dengan demikian hak gadai dianggap barulah terjadi dengan penyerahan kekuasaan (bezit ) atas benda yang dijadikan jaminan itu pada kreditur. Penyerahan kekuasaan ini dianggap sebagai syarat mutlak untuk terjadinya hak gadai.  

4.      Hak dan Kewajiban Pemegang gadai.
Di dalam perjanjian gadai (perjanjian pengakuan hutang dengan gadai barang) terdapat dua pihak yang  terlibat, yaitu pihak yang memberikan jaminan dan yang menerima jaminan. Pihak yang memberikan jaminan disebut dengan pemberi-gadai, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut dengan penerima-gadai.  
Kedua belah pihak, baik pemberi gadai maupun penerima gadai setelah perjanjian gadai disepakati, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban yang lain. Hak dan kewajiban ini harus dilaksanakan bagi masing-masing pihak agar tidak terjadi perselisihan yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak atau keduanya.
Hak adalah “kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum untuk berbuat apa saja asal tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, ketertiban umum dan kepatutan. Hak merupakan tuntutan sah agar orang lain bersikap dan berperilaku dengan cara tertentu”.[9]
Hak dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
1.      Hak mutlak, yaitu kewenangan atas kekuasaan mutlak yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. Pemegang hak mutlak dapat mempertahankannya terhadap siapapun juga.
2.      Hak relatif (nisbi), ialah hak yang memberikan kewenangan kepada seseorang atau beberapa orang untuk menuntut agar orang lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hak relatif biasanya timbul karena perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh para subjek hukum. Hak relatif hanya berlaku bagi orang tertentu saja.  
Sedangkan kewajiban adalah “beban yang diberikan oleh hukum kepada orang  ataupun badan hukum”.[10]
Menurut KUH Perdata disebutkan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemegang gadai yaitu :
a.       Hak Pemegang gadai
1.      Pemegang gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang gadai itu, apabila hal itu sudah menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau obligasi (Pasal 1155 KUH Perdata).
2.      Apabila pemberi gadai (si berutang) melakukan wanprestasi, maka pemegang gadai (si berpiutang) berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu,  dan kemudian mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang itu. Penjualan barang itu dapat dilakukan sendiri atau dapat juga meminta perantaraan hakim (Pasal 1156 ayat (1) KUH Perdata).
3.      Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti biaya–biaya yang telah ia keluarkan untuk menyelamatkan barang yang digadaikan itu (Pasal 1157                 ayat (2) KUH Perdata).
4.      Pemegang gadai berhak untuk menahan barang yang digadaikan sampai pada waktu utang dilunasi, baik mengenai jumlah pokok maupun bunga (Pasal 1159 ayat (1) KUH Perdata).
b.   Kewajiban Pemegang gadai
1.      Pemegang gadai wajib memberitahukan pada orang yang berutang apabila ia hendak menjual barang gadainya (Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata).
2.      Pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan, jika itu semua terjadi karena kelalaiannya      (Pasal 1157 ayat (1) KUHPerdata).
3.      Pemegang gadai  harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualan  itu, dan setelah ia mengambil pelunasan utangnya, maka ia harus menyerahkan kelebihannya pada si berutang (Pasal 1158 KUHPerdata).
4.      Pemegang gadai harus mengembalikan barang gadai kepada pemberi gadai, apabila utang pokok, bunga dan biaya untuk menyelamatkan barang gadai telah di bayar lunas (Pasal 1159 KUHPerdata).

  1. Hapusnya Gadai
Hak gadai akan hapus dalam hal-hal berikut ini :
a.       Dengan hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan gadai. Ini sesuai dengan sifat accessoir daripada gadai, sehingga nasibnya bergantung kepada perikatan pokoknya.
Perikatan pokok hapus antara lain karena :
1)       pelunasan
2)       kompensasi
3)       novasi
4)       penghapusan hutang
b.      Dengan terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan pemegang gadai.
Tetapi pemegang gadai masih mempunyai hak untuk menuntutnya kembali dan jika berhasil, maka undang-undang menganggap perjanjian gadai tersebut tidak pernah terputus (Pasal 1152 ayat (3) K.U.H.Perdata).
c.       Dengan hapus/ musnahnya benda jaminan.
d.      Dengan dilepasnya benda gadai secara suka rela.
e.       Dengan percampuran, yaitu dalam hal pemegang­-gadai menjadi pemilik barang gadai tersebut.
f.        Kalau ada penyalahgunaan benda gadai oleh pemegang-gadai (Pasal 1159 KUH Perdata). Sebenarnya undang-undang tidak mengatakan secara tegas mengenai hal ini. Hanya dalam Pasal 1159 KUH Perdata dikatakan, bahwa pemegang-gadai mempunyai hak retensi, kecuali kalau ia menyalahgunakan benda gadai, dalam hal mana secara a contrario dapat disimpulkan, bahwa pemberi-gadai berhak untuk menuntut kembali benda jaminan. Kalau      benda jaminan keluar dari kekuasaan pemegang-gadai, maka gadainya menjadi hapus.


[1] Balai Pustaka, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1997, hal 283
[2] Subekti,  Pokok-pokok  Hukum Perdata,   Intermasa,  Jakarta,  Cet. XXI,  1982,    ( selanjutnya  disingkat Subekti I) hal. 79.   
[3] Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-hak Atas Benda, Intermasa, Cet. V , Jakarta, 1986 hal 153.
[4] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,, Liberty, Yogyakarta, Cet I, 1980, hal 25.
[5] Hanna John et al, Op. Cit,   hal 1.
[6] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit, hal .57
[7] J. Satrio, Op.Cit, hal. 91-92.
[8] Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fiducia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991,  (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman I), hal 58
[9] J. B. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum : Buku Panduan Mahasiswa, Prenhallindo, Jakarta, 2001,     hal. 32
[10] Ibid, Hal 34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar